Pemerintah tengah menggarap dan merevisi sejumlah aturan baru sehingga bisa mendorong pemanfaatan teknologi nuklir, salah satunya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Hal itu dilakukan untuk mengejar target Net Zero Emission pada 2060.
Setelah merancang RUU energi baru dan terbarukan (EBT), pemerintah juga akan menerbitkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) baru dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014. Peraturan Pemerintah tersebut akan mendorong pembangunan pembangkit EBT termasuk PLTN.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Strategi Percepatan Penerapan Energi Transisi dan Pengembangan Infrastruktur Energi, Ego Syahrial, mengatakan pemerintah akan berupaya menjalankan proyek PLTN skala kecil dalam KEN. Sementara pada PP KEN No 70 Tahun 2014 atau kebijakan sebelumnya, penggunaan energi nuklir masih dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir.
“Pembangunan proyek tenaga nuklir ini memang dari skala kecil dahulu untuk meyakinkan stakeholder terkait. Namun sebagai langkah awal, kami juga harus lebih mendahulukan keselamatan," kata Ego dalam diskusi panel Sisiplus Katadata bertajuk “Pathways to a Prosperous Indonesia - Powered by Renewable Energy" di Jakarta, Selasa (24/10).
Dia menyampaikan, hingga saat ini terdapat sejumlah perusahaan yang sudah mengemukakan niatnya untuk mengembangkan pembangkit atau reaktor nuklir di Indonesia. Namun, progresnya baru sampai batas studi dan perencanaan.
Disisi lain, dia mengatakan, Indonesia memang harus mulai menerapkan teknologi energi baru untuk bisa mencapai target NZE pada 2060.
“Nuklir ini energi baru, harus masuk ke dalam sistem. Jadi ini tugas berat bersama, bagaimana meyakinkan untuk masuk ke sistem kelistrikan lebih aman," ujarnya.
Sebelumnya, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha menyebutkan, terdapat beberapa syarat untuk mengembangkan nuklir. Syarat tersebut adalah:
1. Harus ada pembentukan badan pengawas khusus
2. Pengembangannya berdasarkan keputusan nasional
3. Teknologinya harus teruji
Dia mengatakan, PLTN tidak dapat terbangun dalam skala apapun jika semua syarat itu tidak terpenuhi. “Kami minta Indonesia tidak dijadikan ajang percobaan,” ucapnya.
PLTN Skala Kecil Dinilai Tak Ekonomis
Kepala Perwakilan ThorCon International Bob S. Effendi berpendapat hampir semua pengembang tidak mau berinvestasi di PLTN skala kecil. Dengan memakai produsen listrik swasta (IPP), pembangkitnya tidak akan ekonomis dibandingkan yang berbahan bakar batu bara.
Ia menyebut rata-rata PLTN skala kecil dengan desain jenis PWR (pressurized water reactor) membutuhkan dana sekitar US$ 5 ribu per kiloWatt. Untuk membangun berskala 200 megawatt, maka kebutuhan dananya mencapai lebih Rp 14 triliun.
“Apakah pemerintah akan menyediakan dana sebesar itu? Saya kurang yakin," kata Bob kepada Katadata.co.id, Sabtu (18/3)
Dengan kapasitas PLTN sebesar 200 megawatt, maka harga listriknya tidak dapat berkisar di US$ 6 sen per kiloWatt hour (kWh). Dia memperkirakan harga listriknya bisa menjadi US$ 7 sen sampai US$ 8 sen per kWh.
Bob mengatakan, Indonesia telah siap merealisasikan pembangunan pembangkit energi baru tersebut. Negara ini memiliki pengalaman mengoperasikan reaktor nuklir lebih dari 50 tahun. Lokasinya berada di Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serpong, Banten, dan dioperasikan oleh Badan Tenaga Atom Nasional (Batan).
Untuk itu, ThorCon berencana membangun PLTN dengan kapasitas 500 megawatt. “Thorcon dapat beroperasi pada level 40% atau sekitar 200 megawatt, Setelah demand naik dalam dua tahun dapat naik menjadi 90%,” kata Bob.
Berikut negara di Asia dengan jumlah reaktor nuklir terbanyak, seperti tertera dalam grafik.