Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) mengusulkan kepada pemerintah untuk merevisi atau mengevaluasi ulang kebijakan domestic price obligation (DPO) batu bara untuk sektor ketenagalistrikan. Menurut Sekretariat JETP, harga khusus batu bara domestik saat ini sebesar US$ 70 per ton bisa menghambat proses transisi energi di sektor ketenagalistrikan.
Spesialis Pendanaan dan Kebijakan Sekretariat JETP Elrika Hamdi mengatakan, kebijakan DPO batu bara juga perlu dievaluasi kembali karena bermasalah, yakni menciptakan ilusi seolah-olah harga batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) murah dan stabil. Padahal, harga komoditas emas hitam tersebut bergerak secara tidak pasti sehingga harga cukup tinggi.
“Jadi, ini yang perlu dievaluasi kembali yaitu bagian kebijakan DPO, karena kami anggap menjadikan beberapa risiko. Pertama, mengahambat proses dekarbonisasi di Indonesia karena PLTU dianggap murah,” ujar Elrika dalam acara Dialog Masyarakat Sipil JETP, Selasa (14/11).
Tak hanya itu, dia juga mengatakan bahwa kebijakan kewajiban pasok dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) batu bara sampai saat ini tidak berjalan dengan benar dan tidak efektif. Pasalnya, pemerintah belum optimal dalam memberikan sanksi terhadap produsen batu bara yang tidak memenuhi kebijakan DMO.
“Sebenarnya kebijakan DMO itu ada, tapi implementasinya belum cukup kuat. Jadi itu yang membuat banyak produsen batu bara Indonesia tidak kena penalti, seperti produsen kecil,” kata dia.
Untuk diketahui, DMO merupakan peraturan tentang kewajiban badan usaha di hasil tambang untuk memenuhi kebutuhan batu bara dalam negeri.
Oleh sebab itu, Erlika meminta pemerintah untuk membuat suatu kebijakan baru yang lebih baik di sektor baru bara guna mencapai tujuan JETP, baik dalam jangka pendek maupun menengah. Selain itu, agar tidak ada lagi produsen batu bara yang menyeleweng aturan.
Sementara itu pada kesempatan yang sama, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tata Mutasya meminta kepada pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi penggunaan batu bara. Apalagi, ekonomi di Indonesia masih sangat bergantung kepada sektor batu bara karena memiliki nilai yang tinggi.
“Maka batu bara ini harus diubah tidak menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam ekonomi Indonesia. Kalau ini bisa dijalankan, kemungkinan negara IPG juga akan berkomitmen untuk mendanai,” ujarnya.
Pasalnya, dia menilai negara International Partners Group (IPG) masih enggan berkomitmen untuk mendanai program pensiun dini Pembangkit Litrik Tenaga Uap (PLTU) karena melihat Indonesia masih sangat bergantung terhadap energi fosil khususnya batu bara.
“Kalau begini jadinya kontradiktif, kita mau pensiun dinikan PLTU batu bara, tapi kita juga masih bergantung,” kata dia.
Adapun target produksi batu bara nasional pada 2024 ditargetkan mencapai 628 juta ton. Angka tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan target tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah menargetkan produksi batu bara sebesar 609 juta ton pada 2021. Angka itu naik menjadi 618 juta ton pada 2022 dan menjadi 625 juta ton pada 2023.