Pengembangan Hidrogen dan Amonia di Asia Terkendala Biaya yang Mahal

PLN
Hidrogen Hijau PLN
Penulis: Nadya Zahira
15/11/2023, 12.30 WIB

Pemanfaatan hidrogen dan amonia menjadi salah satu rencana pemerintah untuk mencapai target net zero emission (NZE) atau emisi nol bersih pada 2060. Hidrogen dan amonia bisa menjadi sumber energi bersih untuk menggantikan bahan bakar fosil.

Head of Power and Renewables Consulting, APAC Wood Mackenzie, Melvin Chen mengatakan pengembangan penggunaan hidrogen dan amonia di Asia saat ini masih terkendala karena harganya yang tinggi. Oleh sebab itu, untuk mendorong permintaan hidrogen dan amonia di masa depan, biaya produksinya harus diturunkan.

“Hal pertama yang harus dilakukan adalah biayanya harus turun ke tingkat yang ekonomis karena selalu ada keseimbangan yang baik antara ekonomi dan bisnis. Jadi secara logika, harganya harusnya bisa turun,” ujar Melvin dalam acara Enlit Asia, di ICE BSD Tangerang, Rabu (15/11).

Melvin berharap biaya produksi hidrogen bisa turun menjadi sekitar US$ 2 per kilogram (kg) seiring dengan persaingan harga dari produksi hidrogen dari bahan bakar fosil dengan teknologi penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture Storage (CCS) danCarbon Capture Utilization and Storage (CCUS) atau biasa disebut hidrogen biru.

Dia mengatakan, pemerintah sebaiknya juga memberikan insentif kepada masyarakat yang ingin memanfaatkan penggunaan hidrogen dan amonia. Dengan begitu, mereka akan tertarik untuk mengembangkan kedua energi bersih tersebut.  “Maka seharusnya pemerintah di seluruh dunia bisa memberikan subsidi, agar masyarakat atau produsen tidak terbebani,” kata dia. 

Butuh Rp 12 Triliun untuk Kejar Kapasitas Produksi Hidrogen 

Sebelumnya, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebutkan diperlukan investasi sebesar US$ 800 juta atau Rp 12,46 triliun untuk mengejar target kapasitas produksi hidrogen hijau sebesar 328 megawatt (MW) pada awal 2030.

Nilai investasi diprediksi akan makin besar seiring peningkatan produksi hidrogen hijau dari tahun ke tahun. Menurut IESR, kapasitas produksi hidrogen hijau di Indonesia akan mencapai 52 gigawatt (GW) pada 2060 dengan total investasi mencapai US$ 25 miliar.

Tingginya biaya produksi hidrogen hijau disebabkan oleh tingginya biaya proses elektrolisis untuk memisahkan hidrogen dari air (H2O). IESR mencatat, biaya produksi hidrogen hijau di Indonesia diperkirakan sekitar US$ 3- US$ 12 per kilogram (kg), tergantung pada teknologi yang digunakan dan lokasi proyek.

Meski begitu, potensi pemanfaatan hidrogen hijau yang punya sifat fleksibel dan serba guna dipandang sebagai daya tarik para investor. Hidrogen hijau bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sektor energi, kimia, hingga metalurgi.

"Namun, ini membutuhkan kebijakan untuk membantu menurunkan biaya produksi energi terbarukan sebagai syarat utama penyumbang biaya produksi hidrogen hijau," tulis laporan tersebut.

Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengatakan bahan bakar hidrogen dan amonia dapat digunakan sebagai bahan bakar kapal, kereta api, truk berat, dan bus. Selain dimanfaatkan sebagai sumber energi kendaraan, hidrogen dan amonia juga bisa dijadikan sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik.

Feby mengatakan, pengembangan hidrogen dan amonia di dalam negeri masih belum optimal karena minimnya infrastruktur dan tingkat harga yang belum ekonomis. Selain itu, Feby mengatakan, sejauh ini pemerintah belum mengeluarkan regulasi khusus yang mengatur pengembangan hidrogen dan amonia.

Menurut Feby, produksi hidrogen di seluruh Indonesia saat ini berkisar antara US$ 5 sampai US$ 10 per kilogram (kg). Harga ini dinilai kurang bersaing dan jauh lebih tinggi dari biaya produksi bahan bakar konvensional lain yang berada di kisaran US$ 4 per kg.

Reporter: Nadya Zahira