Industri nuklir global mendapat dorongan semangat pada pertemuan iklim COP28 di Dubai setelah lebih dari 20 negara berjanji untuk melipatgandakan kapasitasnya pada tahun 2050. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, industri nuklir harus mengatasi berbagai rintangan.
Tantangan tersebut mencakup regulasi, hambatan pembiayaan, hambatan bahan bakar, dan masalah keselamatan publik yang telah berkontribusi pada sejarah panjang penundaan proyek dan stagnasi selama beberapa dekade.
Butuh waktu 70 tahun untuk membawa kapasitas nuklir global ke tingkat 370 gigawatt (GW) saat ini. Industri ini sekarang harus memilih teknologi, mengumpulkan dana, dan mengembangkan peraturan untuk membangun 740 GW lainnya dalam setengah waktu tersebut.
"Dilihat dari kinerja industri nuklir internasional selama dua dekade terakhir, hal ini tidak mungkin terjadi," kata Mycle Schneider, penulis utama Laporan Status Industri Nuklir Dunia, seperti dikutip Reuters, Kamis (7/12).
Deklarasi yang ditandatangani oleh Amerika Serikat (AS), Prancis, Inggris, Korea Selatan, dan negara-negara lain ini berkomitmen untuk memobilisasi investasi dan mendorong lembaga-lembaga keuangan seperti Bank Dunia untuk mendukung tenaga nuklir.
Deklarasi ini juga menjanjikan upaya untuk memperpanjang usia pembangkit yang ada dukungan untuk teknologi baru seperti reaktor modular kecil (SMR). Seperti diketahui, sekitar 200 dari 420 reaktor di seluruh dunia dijadwalkan untuk dinonaktifkan sebelum tahun 2050.
Para eksekutif nuklir di COP28 mendukung ikrar tersebut, namun mengakui adanya kesulitan yang dihadapi industri ini. "Nuklir adalah sumber energi yang paling aman," kata Patrick Fragman, kepala eksekutif Westinghouse. "Tentu saja, untuk reaktor-reaktor pertama dari jenisnya, ada masalah dan pembengkakan biaya."
Sebagai tanda tantangan yang akan datang, beberapa kelompok lingkungan mengkritik janji tersebut, mengutip masalah keamanan publik. Sementara itu, para akademisi mempertanyakan apakah PLTN dapat beroperasi tepat waktu untuk membantu mencegah bencana iklim.
"Mengapa ada orang yang mau mengeluarkan satu dolar pun untuk sebuah teknologi yang, jika direncanakan hari ini, bahkan tidak akan tersedia untuk membantu hingga tahun 2035-2045?" ujar Mark Jacobson, seorang spesialis energi di Stanford University.
Cina Menyumbang Reaktor Terbanyak
Saat ini terdapat 60 reaktor komersial yang sedang dibangun di 17 negara di seluruh dunia, dengan Cina menyumbang 25 reaktor, menurut World Nuclear Association. Meskipun Cina adalah salah satu dari sedikit negara yang tetap teguh dalam komitmennya terhadap pengembangan nuklir selama bertahun-tahun, target kapasitas tahun 2020 adalah satu-satunya target yang tidak tercapai.
Sementara itu, di sebagian besar negara Barat, kapasitas tenaga nuklir telah stagnan. Pengembangan pembangkit nuklir membutuhkan biaya konstruksi reaktor yang besar, menghadapi masalah perizinan, dan oposisi publik setelah kecelakaan nuklir Fukushima di Jepang pada tahun 2011 yang menghalangi pembangunan baru.
Pada COP28, perusahaan-perusahaan nuklir membicarakan prospek SMR sebagai pilihan yang lebih baik. Para pendukungnya mengatakan bahwa reaktor ini memiliki waktu konstruksi yang lebih pendek daripada pembangkit tradisional dan secara teori dapat beroperasi lebih cepat.
Korea Hydro and Nuclear Power (KHNP) mempresentasikan simulator reaktor "iSMR", yang dirancang untuk dihubungkan ke jaringan listrik yang ada dan digunakan untuk menjalankan pabrik desalinasi atau menyediakan pemanas perkotaan.
"KHNP akan dapat membangun pembangkit listrik dalam waktu dua tahun setelah izin diperoleh, lebih singkat dibandingkan dengan 10 hingga 20 tahun untuk reaktor besar," kata kepala eksekutif KHNP Jooho Whang.
Menurutnya, secara historis pembangkit listrik tenaga nuklir tunduk pada persetujuan pemerintah. "Tetapi jika SMR membuat proyek demonstrasi yang baik, akan ada pertumbuhan permintaan yang eksponensial di seluruh dunia."
iSMR KHNP adalah salah satu dari sekitar 80 model yang sedang dikembangkan. Namun, para ahli menilai sebagian besar reaktor itu tidak mungkin berjalan sebelum 2030.
NuScale (SMR.N), yang memiliki satu-satunya desain SMR yang disetujui oleh Komisi Regulasi Nuklir AS, bulan lalu harus menghentikan proyeknya di sebuah laboratorium nasional. Pasalnya, ada kekhawatiran akan rendahnya jumlah langganan untuk daya pembangkit. NuScale mengatakan bahwa proyek-proyeknya yang lain tetap berjalan sesuai rencana.
Rafael Grossi, direktur eksekutif Badan Energi Atom Internasional (IAEA), mengatakan kepada Reuters bahwa badan tersebut sekarang sedang bekerja untuk menyelaraskan aturan persetujuan di seluruh dunia untuk memudahkan negara-negara berbagi teknologi.
"IAEA telah meluncurkan sebuah proses agar para regulator di seluruh dunia dapat bergerak lebih cepat, selalu dengan menerapkan langkah-langkah keamanan yang sangat ketat," katanya. Sistem yang ada saat ini mungkin tidak akan berfungsi di pasar global di mana SMR yang dibuat di Amerika Serikat dijual di Afrika, ujarnya.
Pasokan Bahan Bakar
Peralihan ke SMR dapat menimbulkan masalah lain: banyak reaktor yang akan menggunakan bahan bakar canggih yang saat ini didominasi oleh Rusia. Rusia saat ini merupakan satu-satunya produsen HALEU yang signifikan. HALEU adalah bentuk uranium yang sangat diperkaya yang akan sangat penting untuk teknologi reaktor baru.
Sebuah perusahaan AS bernama Centrus (LEU.A) telah mulai memproduksi HALEU. Menurut IAEA, Uni Eropa juga sedang mengerjakan produksi HALEU.
Fragman dari Westinghouse mengatakan bahwa pasokan uranium sepenuhnya dapat dikelola. Masalah utamanya adalah meningkatkan pengayaan dan menciptakan kembali kapasitas konversi di Barat.
Jonathan Cobb dari World Nuclear Association mengakui bahwa melipatgandakan kapasitas pembangkit nuklir pada tahun 2050 tidak akan mudah. "Itulah mengapa ikrar ini diperlukan. Negara-negara sedang melihat peran yang harus mereka mainkan untuk mencapai hal tersebut. Hal ini tidak akan terjadi begitu saja melalui bisnis seperti biasa," ujar Cobb.