Menteri ESDM Minta Freeport Pakai Energi Bersih di Grasberg, Papua

Biro Pers Sekretariat Presiden / Kris
Presiden Joko Widodo dan Ibu Iriana Joko Widodo meninjau Tambang Grasberg milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika pada Kamis (1/09/2022).
Penulis: Nadya Zahira
11/12/2023, 15.05 WIB

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk mulai menggunakan energi bersih dalam dalam kegiatan usaha pertambangan di Grasberg, Papua Tengah. 

Permintaan tersebut disampaikan langsung oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif kepada Presiden Direktur PTFI Tony Wenas saat mendampingi kunjungan kerja Ketua DPR RI Puan Maharani bersama rombongan parlemen, Sabtu (9/12).

Arifin mengatakan, saat ini negara-negara dunia sudah mulai mengangkat isu carbon mechanism cross border. Jika barang-barang yang bersifat cross border dari industri dasar memiliki kandungan karbon yang tinggi maka akan dikenakan pajak.  

“Singapura sudah mulai dengan (pajak karbon) US$5 dan diperkirakan pajaknya di tahun 2050 itu sebesar US$50," ujar Arifin melalui keterangan resmi, Senin (11/12).

Kebijakan negara-negara tersebut harus segera diantisipasi perusahaan-perusahaan di Indonesia khususnya PTFI agar tidak dirugikan dengan pengenaan pajak tinggi terhadap produk yang dihasilkan karena memiliki konten karbon tinggi dari produknya.

"Makanya saya bilang ke Tony (Presiden Direktur PTFI) energi yang dipakai untuk mendukung ini (pertambangan di PTFI) harus segera dipikirkan untuk menggunakan energi bersih," kata dia.

Lebih lanjut Arifin mengatakan, sumber-sumber energi bersih sangat banyak tersedia di Indonesia, misalnya energi bayu atau angin yang potensi mencapai 500 gigawatt (GW) dan menjadi modal untuk dapat diutilisasi.

"Untuk energi angin menurut survei perusahaan dari negara lain mengatakan potensinya hingga mencapai 500 GW terutama yang berada di ketinggian 140 meter, kalau memang yang di bawah-bawah itu kecil seperti Pantai Pangandaran Merauke itu kecil," kata Arifin.

Sementara itu, Presiden Direktur PTFI Tony Wenas menyambut baik permintaan menteri ESDM untuk mulai menggunakan energi bersih yang rendah emisi dalam kegiatan pertambangannya.

Tony menyampaikan, PTFI berkomitmen untuk mengurangi intensitas emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 30% di tahun 2030. Pada tahun 2021, pengurangan emisi GRK pada kegiatan operasi perusahaannya berhasil mencapai 22% (dibandingkan pada tahun 2018). 

Saat ini PTFI memanfaatkan energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan kapasitas 195 Megawatt (MW) dan beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan kapasitas 150 MW. 

“Sebagian besar dikarenakan transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah, di mana kami menggunakan sistem kereta listrik otomatis bawah tanah," ujar Tony.

Selain itu, dia mengatakan PTFI juga saat ini sedang mengembangkan PLTMG atau pembangkit listrik bahan bakar minyak dan gas. PLTMG tersebut akan memiliki kapasitas 168MW, dan diharapkan beroperasi tahun depan.

Selanjutnya, Tony mengatakan, logam tembaga merupakan produk masa depan karena 65% produk tembaga dunia digunakan sebagai penghantar listrik dan sekarang ini negara-negara berlomba lomba menggunakan pembangkit energi bersih sehinnga akan membutuhkan tembaga lebih banyak lagi.

"Sebagai contoh mobil listrik membutuhkan tembaga empat kali lebih banyak daripada mobil biasa karena lebih banyak cabling system kemudian baterainya yang mengandung tembaga. Kemudian PLT Bayu ini membutuhkan kira-kira setiap megawatt itu membutuhkan sekitar 1,5 ton tembaga dan untuk PLT Surya juga itu membutuhkan 5,5 ton tembaga," jelas Tony. 

Freeport Gunakan Kereta Listrik 

Selain rencana peralihan PLTU ke PLTGU, target penurunan emisi sebesar 30% juga dilakukan dengan beberapa upaya lain. Misalnya, penggunaan kereta listrik sebagai alat transportasi untuk mengangkut bijih mineral sebanyak 110 ribu ton per harinya.

Selain itu, perusahaan melakukan penanaman kembali lahan bekas tambang untuk mendukung lingkungan dan memperhatikan aspek Environmental, Social, and Governance (ESG).  

Tony mengatakan upaya-upaya tersebut seharusnya bisa lebih cepat lagi menurunkan emisi karbon perusahaan sehingga diharapkan target pengurangan emisi pada 2030 bisa lebih besar dari 30%.

Di sisi lain, Tony juga menyebutkan tantangan utama yang dirasakan dalam dekarbonisasi. “Salah satu tantangannya adalah tantangan alam seperti topografi yang terjal dan curah hujan yang tinggi di Papua,” kata dia. 

Sebagai informasi, pemerintah Indonesia telah memperbarui komitmennya dalam mengurangi emisi karbon. Hal ini tercatat dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru, yang kini dinamai Enhanced NDC dan sudah didaftarkan ke UNFCCC pada September 2022. 

Reporter: Nadya Zahira