Bukan Pembiayaan, Ini Tiga Hambatan Investasi EBT di Indonesia

ANTARA FOTO/Umarul Faruq/nym.
Pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) saat peresmian di kawasan PT HM Sampoerna Tbk Pandaan, Pasuruan, Jawa Timur, Jumat (1/12/2023). Sebanyak 10.550 panel surya dipasang di area seluas 7 hektar dengan kapasitas listrik sebesar 7 MWp atau setara dengan daya yang dibutuhkan untuk mengaliri lebih dari 12.000 unit rumah sederhana yaitu merupakan bagian dari upaya Sampoerna untuk mencapai target net zero emissions serta pembangunan rendah karbon pada 2060.
14/12/2023, 07.38 WIB

Laporan terbaru Ernts & Young mengungkap bahwa hambatan finansial bukan menjadi tantangan utama pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Terdapat sejumlah hambatan lain baik dari sisi kebijakan pemerintah maupun finansial.

Energy Transition and Climate Partner di Ernst & Young Singapura, Gilles Pascual, mengatakan Asia merupakan wilayah dengan pertumbuhan energi yang cepat. International Energy Agency memperkirakan pertumbuhan permintaan energi mecapai 90 persen pada 2050. 

Namun demikian, investasi EBT di Asia Pasifik, kecuali Cina, hanya mencapai 14 persen dari total keseluruhan di dunia. 

"Asia diharapkan memainkan peranan penting dalam mengatasi perubahan iklimdan mengurangi emisi dengan transisi ke energi terbarukan," ujarnya dalam pemaparan secara daring, Rabu (13/12).

Menurut Pascual, pembiayaan EBT sangat tersedia. Namun terdapat sejumlah hambatan dalam pengembangan EBT di Indonesia.

Ernst & Young telah melakukan survei dengan sejumlah investor dan sejumlah pihak yang berkaitan dengan investasi EBT di Indonesia. Berdasarkan survei tersebut, sejumlah hambatan dalam pengembangan EBT di Indonesia adalah:

1. Kapasitas listrik energi fosil yang berlebih

Indonesia saat ini memiliki kapasitas energi fosil yang berlebih terutama daerah Jawa, Madura, dan Bali. Hal ini menyebabkan investasi EBT belum menjadi isu yang krusial.

Pascual mengatakan, perlu ada kebijakan untuk mempercepat penghentian penggunaan bahan bakar fosil.

2. Rantai Pasok

Pascual mengatakan, Indonesia belum memiliki rantai pasok komponen energi baru terbarukan. Hal ini menyebabkan komonen tersebut masih harus diimpor.

Di sisi lain, pemerintah menerapkan aturan minimal tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Hal ini menyulitkan investor asing yang sebagian besar masih harus membawa komponen dari negaranya.

3. Hambatan finansial

Lembaga pembiayaan di Indonesia sudha banyak yang menyediakan pembiayaan untuk investasi EBT. Namun, investor mengatakan, mereka masih harus membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk melakukan negosiasi.

"Investor ingin perbankan di Indonesia memiliki template khusus pinjaman pembangkit listrik tenaga air maupun surya sehingga tidak perlu melakukan negosiasi per pasal," ujarnya.

Selain itu, investor juga berharap ada informasi mengenai daerah mana saja investasi listrik tersebut dibutuhkan. Dengan demikian, investor bisa langsung mencari tanah yang tepat.

Menurut laporan “Net-Zero Pathways” International Energy Agency (IEA), Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki potensi untuk meningkatkan kapasitas tenaga surya dan angin hingga tiga kali lipat pada tahun 2030.

Selain itu, Indonesia juga memiliki sumber daya angin yang melimpah. Oleh karena itu, memfokuskan pengembangan sistem energi Indonesia pada sumber daya energi terbarukan akan meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi, memperkuat kedaulatan energi, serta mendukung target pengurangan emisi.

Seiring dengan berkumpulnya negara-negara di COP28 untuk membahas target mencapai kapasitas terpasang energi terbarukan sebesar tiga kali lipat pada tahun 2030, pembuat kebijakan Indonesia dinilai perlu mempertimbangkan cara terbaik menciptakan lingkungan kebijakan dan peraturan yang mendukung untuk membuka jalan pada miliaran dolar investasi energi terbarukan yang sudah menanti.

Target Bauran EBT Sulit Tercapai

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 (RUPTL), pemerintah menargetkan porsi EBT dalam bauran energi nasional bisa mencapai 23% pada 2025.

 Namun, menurut laporan Capaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2022 dari Kementerian ESDM, sampai akhir tahun lalu bauran EBT masih jauh dari target, yakni baru 14,11%.
 
Jika dirunut lebih jauh, dalam enam tahun terakhir bauran EBT juga belum berubah signifikan. Selama periode 2017-2022 angkanya hanya berfluktuasi di kisaran 12% sampai 14%.