Rapor Merah COP28, Beri Ruang Bahan Bakar Fosil hingga Nuklir

ANTARA FOTO/R. Rekotomo/Spt.
Aktivis lingkungan dari berbagai negara melakukan unjuk rasa saat berlangsungnya konferensi perubahan iklim COP28 UNFCCC di Dubai, Uni Emirat Arab, Jumat (8/12/2023). Mereka menuntut diakhirinya penggunaan bahan bakar fosil karena telah menjadi penyebab utama terjadinya perubahan iklim di dunia.
15/12/2023, 06.00 WIB

Konferensi Perubahan Iklim COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab berakhir pada Rabu (13/12). Agenda besar tersebut meninggalkan sederet rapor merah dalam kemajuan mengatasi perubahan iklim yang mendesak.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan dunia sangat kecewa karena COP28 tidak menghasilkan mandat tegas untuk mengakhiri (phasing out) bahan bakar fosil, yaitu batubara, minyak bumi, dan gas alam.

"Meski ada seruan untuk beralih dari energi fosil untuk mencapai net zero sekitar tahun 2050, banyak sekali hal-hal kompromis seperti penggunaan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), transitional fuels yang tidak jelas definisi batasannya, bahkan memasukkan nuklir sebagai solusi,” ujar Uli dalam keterangan tertulis, Kamis (14/12).

Padahal, hasil penilaian global atau global stocktake (GST) menemukan bahwa implementasi kebijakan dalam komitmen iklim (NDC) negara-negara yang ikut meratifikasi Perjanjian Paris hanya akan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 2% pada 2030 dibandingkan tingkat tahun 2019.

Sementara untuk memastikan laju peningkatan global tidak lebih dari batas aman 1,5C pada akhir abad ini, emisi GRK global harus turun sebesar 50% pada 2030 dan mencapai net zero emissions pada 2050.

Uli mengatakan, keputusan COP 28 juga terlihat kontradiktif dan timpang; yang menyebut diri harus selaras dengan ilmu pengetahuan, tetapi tanpa menetapkan target yang cukup ambisius. Apabila benar-benar mengacu kepada ilmu pengetahuan, dunia harus mengurangi penggunaan batubara sebesar 95%, minyak bumi 60%, dan gas alam 45% pada 2050.

Dia mengatakan, lambannya aksi membuat masyarakat semakin terjepit dalam menghadapi berbagai dampak krisis iklim, seperti cuaca panas ekstrim, banjir, gelombang tinggi, kekeringan, meluasnya penyakit, hingga hilangnya tempat tinggal, mata pencaharian, dan bahkan situs budaya.

Dampak paling parah dirasakan oleh kelompok masyarakat rentan seperti penyandang disabilitas, lansia, anak-anak, perempuan, masyarakat adat dan lokal, petani dan nelayan tradisional, serta buruh. Berdasarkan data BNPB, selama 10 tahun terakhir lebih dari 90% bencana yang terjadi adalah bencana terkait iklim dan telah memakan korban lebih dari 32 juta orang.

Target Kurang Jelas

Uli mengatakan, agenda Global Goals on Adaptation, COP 28 baru berhasil merumuskan cakupan tujuan adaptasi namun tanpa disertai target yang jelas. Meski ada pengakuan terhadap pengetahuan lokal dalam beradaptasi dan kepemimpinan masyarakat adat dalam beradaptasi, namun tidak disebutkan mengenai perlindungan tenurial sebagai prasyarat adaptasi berbasis pengetahuan lokal dan tradisi.

Untuk memastikan solusi iklim yang adil dan berkelanjutan, seluruh pihak termasuk pemerintah daerah dan masyarakat rentan harus dilibatkan secara bermakna. Namun demikian, negara tidak boleh angkat tangan dalam menyelesaikan situasi krisis iklim.

“Pertanyaan paling mendasar adalah siapa pihak yang seharusnya beradaptasi terhadap situasi krisis hari ini? Mereka adalah pemerintah dan korporasi, sebab kebijakan, program serta keputusan politik yang mereka hasilkan justru menghancurkan daya adaptif rakyat, dan aksi mitigasi yang selama ini mereka lakukan,” lanjut kata Uli.

Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, Torry Kuswardono, mengatakan, COP-28 menghasilkan satu keputusan penting terkait dampak krisis iklim yaitu operasionalisasi pendanaan untuk mengatasi Kehancuran dan Kerusakan atau Loss and Damage. Namun, prosesnya belum memberikan kepastian bagi mereka yang telah mengalami Kehancuran dan Kerusakan.

"Hal ini menunjukkan masih curamnya jalan menuju keadilan iklim,” ujar Torry.

Sementara itu Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan, Nadia Hadad, mengatakan klaim keberhasilan Indonesia menurunkan emisi sebesar 42% seharusnya menjadikan negara ini lebih berani dan tegas dalam menangani krisis iklim.

"Di antaranya dengan meningkatkan ambisi kontribusi nasional dalam NDC Kedua sesuai target 1,5C,” ujar Nadia.

Dia mengatakan, hasil perundingan di Dubai ini memperkuat bukti bahwa negara-negara maju gagal menunjukkan kepemimpinan dalam upaya mengatasi krisis iklim global.

“Oleh karena itu, sudah saatnya negara-negara berkembang, miskin, dan terdampak merebut kepemimpinan negosiasi iklim dan bersuara lebih keras menuntut negara-negara maju memenuhi kewajiban mereka dalam mengurangi emisi GRK, membantu negara-negara berkembang dalam hal beradaptasi, maupun mengatasi Loss and Damage akibat krisis iklim,” kata Nadia.