ESDM: Listrik EBT Makin Kompetitif, Siap Bersaing dengan Energi Fosil

ANTARA FOTO/Arnas Padda/nym.
Foto udara kincir angin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (27/5/2023).
Penulis: Happy Fajrian
18/12/2023, 06.47 WIB

Kementerian ESDM menilai skala keekonomian harga energi baru dan terbarukan atau EBT semakin kompetitifdengan terus berkembangnya teknologi energi bersih. Utilisasinya di Indonesia juga perlahan terus dioptimalkan dengan potensi yang melimpah.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, harga listrik dari pembangkit EBT sudah hampir mendekati harga listrik berbasis fosil, bahkan ada yang lebih efisien.

Perkembangan positif ini membuat keseimbangan persaingan usaha antara EBT dan energi fosil. Dengan begitu, pemerintah punya alasan kuat untuk menjadikan EBT sebagai sumber energi.

Kemajuan dalam teknologi energi terbarukan, khususnya pada sektor pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan angin (PLTB), telah memungkinkan efisiensi yang lebih tinggi sehingga berdampak terhadap penurunan biaya produksi listrik yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan pembangkit energi fosil.

Dadan mencontohkan, secara keekonomian pembangkit listrik tenaga angin atau bayu (PLTB) Sidrap dan PLTB Jeneponto pada 2016 harag listriknya ketika itu mencapai 10,9 sen dolar per kilo watt jam (kWh). Sedangkan kontrak baru PLTB di Kalimantan Selatan pada awal 2023 sekitar 40% lebih murah.

“Sekarang, sudah ada kontrak baru PLTB di Kalimantan Selatan awal tahun 2023 ini, kapasitanya sama kira-kira 75 megawatt (MW). Jika dibandingkan dengan harga 6 - 7 tahun lalu, sekarang angkanya adalah di bawah US$ 6 sen per kWh,” kata Dadan Kusdiana dikutip Senin (18/12).

Dadan juga mengomparasikan harga pembangkit EBT dengan harga pembangkit berbasis energi fosil, seperti batubara (PLTU). Ia bahkan menilai harga energi hijau bahkan lebih murah. Hal ini menunjukkan bahwa pembangkit listrik dari EBT bisa lebih kompetitif.

“Harga listrik PLTS Cirata (US$ 5,8 sen per kWh) itu angkanya di bawah US$ 6 sen per kWh juga. Kalau ingin sederhana hitung saja, misal produksi listrik dari batu bara satu kWh itu perlu sekitar 0,7 sampai 0,8 kilo batu bara. Jadi, komponen bahan bakarnya itu bisa langsung dihitung,” ujarnya.

Menurut Dadan biaya produksi listrik batu bara saat ini semakin mahal dengan harga batu bara acuan berkisar antara US$ 125-130 per ton. Sehingga harga listrik dari EBT sudah dapat bersaing dengan harga listrik berbasis fosil.

“Apakah EBT ini kompetitif? Sekarang sudah tendensinya ke situ. Dengan HBA saat ini sekitar US$ 130 per ton ini sudah bersaing. EBT sekarang sudah masuk skala keekonomian. Sudah bisa head to head dengan fosil. Jadi sekarang tidak ada alasan lagi untuk tidak memakai EBT,” kata Dadan.