Minyak Jelantah Bisa Jadi Solusi Biodiesel Rendah Karbon

ANTARA FOTO/Elora
Minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) dapat menjadi bahan alternatif campuran biodiesel yang rendah emisi karbon.
Penulis: Rena Laila Wuri
11/1/2024, 19.29 WIB

Direktur Eksekutif Traction Energy Asia Tommy Pratama mengatakan pengolahan kelapa sawit menjadi biodiesel masih menghasilkan emisi yang besar. Salah satu bahan baku alternatif yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan biodiesel yang rendah karbon adalah minyak jelantah atau used cooking oil (UCO).

Minyak jelantah menjadi salah satu sumber bahan bakar biodiesel yang rendah karbon karena tidak berasal dari bahan pertanian langsung. Terkait dengan ketersediaan minyak jelantah, kajian Traction Energy Asia menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi sekitar 1,2 juta kiloliter per tahun.

Traction Energy mengasumsikan dari 1,2 juta kiloliter minyak jelantah akan dihasilkan pelengkap bahan baku biodiesel sebesar 10% dari total alokasi pengadaan bahan bakar nabati (BBN). Padahal, selama ini minyak jelantah dari Indonesia sebagian besar masih di ekspor ke beberapa negara. 

“Sejauh ini, minyak jelantah diekspor ke luar negeri dan masih ada potensi sekitar 80% yang belum digunakan. Mengapa minyak jelantah tidak digunakan di dalam negeri saja,” kata Tommy dalam diskusi media “Meneropong Bioenergi di Tangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029" secara daring, Rabu (10/1).

Untuk diketahui, minyak jelantah memiliki komposisi kimia yang menyerupai minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel dan rendah emisi gas rumah kaca (GRK). Menurut penelitian Traction Energy Asia pada 2022, campuran dari minyak sawit dan minyak jelantah dapat menurunkan sebanyak 2,4-24% dari total target penurunan emisi sektor energi.

Data dari Traction Energy Asia menunjukkan biodiesel yang mengunakan 100% kelapa sawit (CPO) dapat menghasilkan emisi GRK sebesar 70,88 juta ton CO2e. Dengan mencampurkan 10% UCO dengan 90 persen CPO, akan dihasilkan emisi 68,68 juta ton CO2e sedangkan campuran UCO sebesar 20% dengan 80% CPO menghasilkan emisi 66,49 juta CO2e.

Kemudian, 30% UCO dengan 70% CPO menghasilkan 64,29 juta ton CO2e sedangkan 50% UCO dan 50% CPO menghasilkan 59,89 juta ton CO2e emisi.

Biodiesel yang menggunakan 100% UCO hanya menghasilkan emisi GRK sebesar 48,9 juta ton CO2e. Dari data tersebut menunjukkan semakin besar pencampuran UCO untuk bahan baku biodiesel, semakin sedikit timbulan emisi yang dihasilkan.

Tommy menuturkan minyak jelantah yang dapat digunakan menjadi bahan baku biodiesel berasal dari konsumi rumah tangga dan terbesar dari sektor industri. “Minyak jelantah sumbernya dari apa? Dari rumah tangga jelas tapi penghasil terbesar dari sektor industri. Misalnya pabrik Indomie, kacang Garuda, hotel, restoran, dan kafe yang menghasilkan minyak jelantah cukup besar,”ujarnya.

Sementara itu, berdasarkan data UN Comtrade dengan kode HS 151800, pada tahun 2019, sepuluh negara dari benua Eropa, Asia, dan Amerika menjadi negara tujuan utama ekspor minyak jelantah Indonesia. Minyak jelantah paling banyak diekspor ke Belanda dengan nilai mencapai US$ 23,6 juta, disusul Singapura sebesar US$ 22,3 juta.

Belanda dan Singapura memanfaatkan minyak jelantah jadi bahan bakar kendaraan. Pemanfaatan biodiesel untuk kendaraan di Belanda telah mengurangi 91,7% emisi CO2 dibandingkan solar biasa. 

Berdasarkan data International Council on Clear Transportation (ICCT), potensi minyak jelantah di Indonesia sebanyak 1,6 miliar liter per tahun. Jumlah ini bisa memenuhi 32% kebutuhan biodiesel nasional.

Reporter: Rena Laila Wuri