Transisi energi belum menjadi prioritas pemerintah daerah (pemda) dan masih bergantung pada program pemerintah pusat. Bahkan banyak pemda yang belum memasukkan instrumen kebijakan trasisi energi di rencana pembangunan daerah.
Hal itu didukung oleh laporang Center of Economic and Law Studies (Celios) yang menyatakan 32 dari 34 provinsi di Indonesia belum memiliki kesiapan transisi energi yang memadai.
Koordinator Penyiapan Program Aneka EBT Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Mustaba Ari, mengatakan pemerintah pusat telah mendorong semua provinsi memiliki rencana umum energi di daerah. Rencana umum itu bisa menjadi pegangan bagi daerah untuk mengembangkan transisi energi.
Ia membenarkan bahwa saat ini kewenangan ketenagalistrikan berada di pusat. Namun, pemerintah daerah didorong untuk ikut andil dalam rencana-rencana yang ditargetkan pemerintah pusat.
“Di daerah memang perlu adanya satu "kompetisi", misalnya di Jawa Barat ada Cirata, lalu bagaiman daerah-daerah yang mempunyai potensi yang sama bisa mengikutinya,” kata Mustaba dalam Peluncuran Laporan Climate Action Tracker Assessment Indonesia dan Climate Transparency Implementation Check, Jakarta, Selasa (30/1).
Mustaba mengatakan, kebijakan dan rencana umum tersebut akan berdampak ada anggaran daerah yang disediakan untik transisi energi. Saat ini, transisi energi pemda masih lebih banyak bergantung pada dana alokasi khusus dari APBN yang jumlahnya relatif sedikit.
Hal senada juga disampaikan Fungsional Madya Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas, Anna Amalia. Anna mengatakan pemerintah daerah masih beranggapan transisi energi merupakan kewenangan pusat
“Mereka didorong untuk menurunkan emisi di sektor energi, tapi selalu berdalih kalau kewenangan mereka tidak sampai situ,” kata Anna.
Padahal, Anna menuturkan, daerah memiliki kewenangan dalam pengembangan energi terbarukan. Hal itu telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11 Tahun 2023
Sementara itu, laporan dari Aksara Bappenas menyatakan saat ini banyak pemda yang sudah melakukan upaya penuruan emisi gas rumah kaca (GRK). Namun kapasitas energi baru terbarukan tersebut masih kecil.
Anna mengatakan, Bappenas juga tengah mendorong pemda untuk memasukan kegiatatan penurunan emisi dan transisi energi ke Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Dengan demikian, upaya transisi enrgi menjadi lebih masif di daerah.
Sebelumnya, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar memaparkan bahwa kesiapan transisi energi masih jauh dari kemerataan antar wilayah dimana 90% provinsi di Indonesia belum memiliki kesiapan yang memadai.
“Sekitar 70% (24 provinsi) berstatus sedang dan 20% (7 provinsi) berstatus rendah,” kata Media saat Report Launching Energy Transition Readiness Indeks, Jakarta, Senin (15/1).
Media mengatakan belum meratanya kesiapan daerah dalam transisi energi bergantung pada tingkat konsumsi per kapita. Selain itu, signifikansi keterlibatan perempuan, dan tingkat kerentanan iklim dan energi di tiap daerah.
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta menjadi dua dari 34 provinsi yang dinilai paling siap untuk transisi energi. Penilaian tersebut dilakukan oleh lembaga think tank Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam studi Energy Transition Readiness Index (ETRI).
Ada empat kategori kesiapan transisi energi dalam ETRI yang didasarkan pada skor yang diperoleh setiap provinsi. Skor 80-100 masuk kategori sangat tinggi, skor 60-79 masuk kategori tinggi, skor 40-59 masuk kategori sedang, skor 20-39 masuk kategori rendah, dan skor 0-19 masuk kategori sangat rendah.
DKI Jakarta mendapat skor 84,24 dari skala 100 alias termasuk kategori sangat tinggi untuk kesiapan transisi energi. Sedangkan DI Yogyakarta mendapat skor 66,74 dari skala 100 alias termasuk kategori tinggi untuk kesiapan transisi energi.