Terkendala Bahan Baku, Implementasi Masif Bioetanol Masih Butuh Waktu

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.
Petugas bersiap melakukan pengisian Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax Green 95 saat peluncuran BBM tersebut di SPBU MT Haryono, Jakarta, Senin (24/7/2023).
Penulis: Mela Syaharani
13/2/2024, 12.01 WIB

Pemerintah dan Pertamina telah mengeluarkan Pertamax Green 95 yang merupakan campuran Pertamax dengan Bioetanol. Namun implementasi bahan bakar nabati (BBN) ini yang lebih masif masih terkendala bahan baku. Ini berbeda dengan biodiesel yang telah mencapai B35.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan hal ini dikarenakan kendala pada rantai pasok bahan baku etanol yang belum tersedia. Menurutnya sangat penting untuk memiliki sumber daya alam etanol sebelum mengembangkannya secara masif pada bahan bakar.

“Karena kita belum punya awal rantai pasok, beda dengan biodiesel, kita punya hulunya yakni kelapa sawit. Jadi menurut saya bioetanol tidak bisa cepat seperti biodiesel,” kata Tutuka saat ditemui di Kementerian ESDM dikutip Selasa (13/2).

“Kalau komersialisasi secara masif, harus diketahui dari mana sumber etanolnya, sumber daya alamnya. Karena itu kunci utama kita. Harus sustainable, harus berkelanjutan dan tidak ganggu yang lain,” ucapnya menambahkan.

Tutuka menyampaikan, jika Indonesia belum memiliki rantai pasok awalnya maka implementasi bioetanol hanya akan memperbesar pengeluaran negara. “Karena kalau impor pasti akan tambah biaya dan tinggi harganya,” ujarnya.

Pemerintah melalui PT Pertamina sebelumnya telah melakukan pencampuran BBM Pertamax dengan bahan bakar nabati bioetanol 5%. Pertamina menyatakan jenis BBM ini dapat menaikan nilai oktan atau RON Pertamax dari 92 menjadi menjadi 95 atau menjadi setara dengan Pertamax Plus yang penjualannya dihentikan pada 2016.

Untuk meningkatkan nilai oktan pada jenis BBM lain di Indonesia, Tutuka menyebut saat ini pemerintah masih memerlukan waktu. “Kalau sama seperti biofuel tadi, etanol, masih coba secara teknis dan komersial. Jadi masih perlu waktu,” ucapnya

Sebelumnya, pada 2023 Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pemerintah berupaya meningkatkan produksi etanol domestik dengan memanfaatkan tanaman tebu dan mengadopsi teknologi dari Brasil. Hal ini dilakukan demi mendukung suplai bioetanol untuk campuran bahan bakar Pertamax Green 95.

Pertamax Green merupakan bahan bakar minyak atau BBM campuran Pertamax beroktan 92 dengan kandungan 5% bioetanol. Arifin menjelaskan pemerintah sudah membangun pusat produksi bioetanol untuk bahan bakar kendaraan atau fuel grade di Jawa Timur dengan kapasitas 40.000 Kiloliter (KL).

Produksi tersebut berasal dari dua pabrik di wilayah Jawa Timur, yakni 30.000 KL dari PT Energi Agro Nusantara (Enero) di Kabupaten Mojokerto dan 10.000 KL dari PT Molindo Raya Industrial di Kabupaten Malang.

Kendati demikian, Arifin mengakui sumber bioetanol di dalam negeri relatif masih minim. Menurut dia, pemerintah kini menyasar pengadaan kebun tebu di wilayah Papua dengan mengadopsi teknologi dari Brasil.

Arifin menceritakan pengalaman Brasil yang sukses memanfaatkan tanaman tebu menjadi bioetanol untuk campuran BBM. Dengan luas lahan tebu 9,5 juta hektare, saat ini Negeri Samba mampu memproduksi bahan bakar nabati (BBN) bioetanol dengan komposisi bauran 27% tetes tebu dan 33% bensin atau E27.

"Pemerintah melihat potensi pengembangan di Papua, karena dulu bibit tebu asalnya dari Papua dan pindah ke Portugis dan Brasil, sekarang kami coba untuk kembalikan ke habitatnya," kata Arifin kepada wartawan di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (1/9/23).

Reporter: Mela Syaharani