Pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tidak akan efektif jika pemerintah masih memberikan izin untuk mengoperasikan PLTU baru captive atau swasta. Program pensiun dini PLTU hanya akan efektif jika tidak ada PLTU baru yang sedang dan akan dibangun di seluruh Indonesia.
Hal itu tercantum dalam Laporan lembaga riset Transisi Bersih “Standar Keekonomian dan Keadilan untuk Penutupan Dini PLTU” yang diluncurkan Rabu (28/2).
Laporan Transisi Bersih juga menyebutkan salah satu standar utama yang harus dipenuhi pada pensiun dini PLTU adalah “koherensi”. Itu artinya, kebijakan satu dengan yang lainnya tidak saling mengganggu atau menafikan.
Dalam konteks transisi energi, salah satu bentuk kebijakan tidak koheren yang cukup ekstrim adalah penutupan dini PLTU, tapi masih ada pembangunan PLTU baru.
"Dua kebijakan ini bertolak belakang dan memiliki efek yang saling meniadakan," ujarnya.
Dia mengatakan, program pensiun dini PLTU hanya akan efektif jika tidak ada PLTU baru yang sedang dan akan dibangun di seluruh Indonesia, di semua industri. Jika masih ada PLTU baru yang akan dibangun maka program penutupan dini menjadi sia-sia.
"Ini sama dengan menguras air kolam sambil memasukkan air baru ke dalam kolam. Semua energi dan usaha akan menjadi sia-sia,” ungkap Abdurrahman.
Alasan PLTU Harus Pensiun Dini
Dia mengatakan, pensiune dini PLTU menjadi strategi penting untuk mengejar komitmen bebas emisi. Indonesia memiliki tiga alasan kuat yang menambah urgensi pensiun dini PLTU yaitu:
1. Kapasitas pembangkit listrik di Indonesia secara umum berlebihan.
Berdasarkan data statistik PLN tahun 2022, daya mampu pembangkit PLN Jawa Bali mencapai 42,7 GW sementara beban puncak turun 6,28% menjadi 24,2 GW. Dengan demikian, ada selisih 18,5 GW atau sekitar 43% reserve margin.
Sementara itu, reserve margin jaringan lainnya rata-rata berkisar antara 30%-70%. Perlu diketahui, sekitar 70%-80% dari reserve margin tersebut menggunakan klausul take or pay, sehingga PLN harus membayar pembangkit listrik tersebut, baik digunakan atau tidak.
Untuk setiap gigawatt kapasitas pembangkit yang tidak terpakai tersebut, PLN harus membayar antara Rp 2-3 triliun per tahun. Selain berbiaya mahal, kelebihan cadangan ini secara tidak langsung menutup peluang pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan.
2. Kualitas udara semakin buruk
Dalam beberapa tahun terakhir, kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia mengalami degradasi secara signifikan. Penurunan kualitas udara ini berhubungan erat dengan beroperasinya PLTU-PLTU raksasa di pulau Jawa dan kawasan pusat penghasil batu bara yang baru beroperasi dalam beberapa tahun terakhir.
3. Sebagian besar PLTU yang beroperasi di Indonesia baru dibangun karena Program 35.000 MW. Artinya, masa operasional PLTU-PLTU baru tersebut masih panjang.
“Penutupan dini PLTU adalah hal baru di Indonesia. Karena itu, kita perlu pilot project yang kecil dulu untuk mencari best practice. Setelah kita dapat pengalaman, baru kita menutup yang besar-besar,” ujar Anindya Putri, Analis Transisi Bersih.