Koalisi Masyarakat Sipil: 3 Aturan Mundurkan Komitmen Transisi Energi

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Gerakan Energi Terbarukan (Ganbate) menilai pemerintah tidak serius dalam transisi energi.
Penulis: Rena Laila Wuri
8/3/2024, 16.59 WIB

Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Gerakan Energi Terbarukan (Ganbate) mempertanyakan komitmen pemerintah Indonesia dalam transisi energi. Mereka menilai sejumlah regulasi baru justru menjadi disinsentif dalam peralihan penggunaan energi fosil ke energi terbarukan.

Regulasi baru yang mereka soroti adalah Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 2 Tahun 2024 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap, Perpres No 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Jeri Asmoro, Digital Campaigner 350.org Indonesia,  mencontohkan pada aturan PLTS atap yang baru ada dua perubahan yang justru akan menurunkan minat masyarakat memasang PLTS atap, khususnya sektor rumah tangga dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Pertama, ekspor kelebihan produksi listrik PLTS atap ke jaringan listrik PLN tidak lagi diperhitungkan sebagai pengurangan tagihan. Kedua, pengembangan PLTS atap akan mengikuti sistem kuota yang ditetapkan oleh PLN dengan periode pendaftaran dua kali dalam setahun.

Jeri mengatakan, ekspor listrik ke jaringan PLN merupakan daya tarik PLTS atap. Tanpa ketentuan ini, masyarakat perlu mengeluarkan biaya lebih besar untuk memasang baterai.

Tak hanya itu, jangka waktu pengembalian modal PLTS atap juga akan lebih panjang menjadi 9-10 tahun. Padahal, dengan ketentuan ekspor kelebihan listrik 100% seperti pada aturan yang saat ini berlaku, biaya pemasangan PLTS atap bisa kembali dalam empat hingga lima tahun.

“Regulasi ini sebuah kemunduran, lantaran akan menurunkan partisipasi masyarakat untuk memasang PLTS atap,” kata Jeri dalam Media Briefing Langkah Mundur Transisi Energi: Permen PLTS Atap dan Draf KEN, Jumat (8/3).

Reka Maharwati, Koordinator Enter Nusantara,  mengatakan antusiasme masyarakat terhadap pemasangan PLTS atap di area rural dan urban sudah cukup tinggi. Contohnya, pemasangan PLTS atap menjadi upaya masyarakat Desa Sembalun, Nusa Tenggara Barat dan komunitas Masjid Al-Muharram Taman Tirto Yogyakarta, untuk mencapai mimpi mandiri energi.

“Seharusnya, pemerintah bisa menggandeng masyarakat yang antusias ini untuk berkolaborasi dan menciptakan skema baru yang lebih bisa menguntungkan masyarakat,” kata Reka.

RPP KEN Pangkas Target Bauran EBT

Sama halnya dengan Permen PLTS atap, draf RPP KEN berisikan penurunan target bauran energi terbarukan dari 23% menjadi 17-19% pada 2025 juga menghambat percepatan transisi energi. Dalam dokumen Dewan Energi Nasional (DEN), bauran energi terbarukan sampai 2030 ditargetkan sebesar 19-21%, dan hanya akan meningkat pada 2040 menjadi 38-41%.

Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo mengatakan, draf RPP KEN membuat Indonesia baru mencapai puncak emisi pada 2035. Capaian ini tujuh hingga sepuluh tahun lebih lambat dari kebutuhan membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 1,5°C sesuai laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Alhasil, RPP KEN dapat mengancam tercapainya Persetujuan Paris dan komitmen netral karbon pada 2060 atau lebih cepat yang sudah ditargetkan pemerintah. Draf ini juga sudah berdampak pada perspektif berbagai sektor, seperti investor dan pengembang energi terbarukan, terkait keseriusan pemerintah untuk mendorong pengembangan energi terbarukan. “Draf RPP KEN kurang memihak transisi energi bersama masyarakat,” kata Deon.

Deon mengatakan rencana perubahan KEN juga bertentangan dengan komitmen Kesepakatan JETP Indonesia yang menargetkan bauran energi terbarukan lebih dari 44% pada 2030. Perubahan KEN dikhawatirkan akan berimbas pada revisi komitmen JETP tersebut.

Selain itu, sebagai payung besar perencanaan energi nasional, draf RPP KEN juga berpotensi melemahkan upaya-upaya transisi ke energi terbarukan yang telah dijalankan di daerah.

CCS Dianggap Jadi Solusi Palsu 

Tak hanya menjadi disinsentif bagi pengembangan energi terbarukan, Ganbate menilai kebijakan pemerintah justru mendorong solusi palsu sebagai strategi transisi energi. Pasalnya, pemerintah masih berencana mengoperasikan pembangkit listrik berbasis energi fosil dan ‘menghijaukannya’ dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS).

Selain itu, pemerintah juga berencana mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pada 2032, serta memanfaatkan bahan bakar gas untuk transportasi dan rumah tangga hingga 2060.

Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH Agung Budiono menilai langkah ini sangat fatal lantaran dapat mengunci Indonesia pada ketergantungan energi fosil, yang berujung pada kegagalan mencapai netral karbon.

Padahal, laporan IEEFA menunjukkan, dari 13 proyek CCS dengan total 55% kapasitas dunia, sebanyak tujuh proyek berkinerja buruk, dua proyek gagal, dan satu proyek dihentikan operasinya. Penerapan teknologi CCS dikhawatirkan menjadi upaya greenwashing yang melanggengkan pembangkit listrik berbasis energi fosil.

Ketiga regulasi tersebut menimbulkan pertanyaan terkait seberapa serius pemerintah mendorong pengembangan energi terbarukan. Dalam lima tahun terakhir, capaian bauran energi terbarukan nasional selalu di bawah target.

“Kalau landasan hukumnya dibuat justru berkebalikan dengan target yang diucapkan pemerintah, lalu komitmen transisi energinya di mana? Kalau regulasinya justru terus-menerus diarahkan untuk tetap memanfaatkan energi fosil, investor yang tertarik untuk berbisnis energi terbarukan akan mundur karena tidak mendapat kepastian hukum,” kata Agung.

Reporter: Rena Laila Wuri