Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menggelar KTT Energi Nuklir di Brussels, Belgia, pada Kamis (21/3). Dalam kesempatan itu, perwakilan dari 30 negara berkomitmen meningkatkan kapasitas energi nuklir.
Langkah ini merupakan salah satu solusi untuk memenuhi target global dalam memerangi perubahan iklim. Akan tetapi, terdapat beragam pro dan kontra dalam pemanfaatan tenaga nuklir
Para kritikus mengatakan nuklir seharusnya tidak menjadi bagian dari pendekatan dunia dalam menjawab tantangan transisi untuk menuju Net Zero Emissions (nol emisi bersih) pada 2050.
Di sisi lain, pihak pronuklir terus mempromosikan energi nuklir sebagai cara utama untuk mengurangi emisi iklim yang meroket. "Kepala pemerintahan dan presiden, mereka percaya dalam konteks saat ini dari segi energi maupun keamanan, nuklir memiliki kontribusi yang sangat penting untuk dibuat,” kata Kepala IAEA,Rafael Grossi, seperti dikutip VOA, Jumat (22/3).
Seperti diketahui, lebih dari 400 pembangkit nuklir beroperasi di 30 negara. Sebanyak 500 pembangkit nuklir lainnya direncanakan atau sedang dibangun.
IAEA mencatat tenaga nuklir mewakili 10% dari pembangkit listrik global. Dengan begitu, negara-negara yang menghadiri pertemuan berkomitmen untuk meningkatkan potensi tenaga nuklir, termasuk dengan membangun pabrik baru.
Hal senada juga disampaikan penasihat iklim Gedung Putih John Podesta. Ia mengatakan, perluasan pengembangan tenaga nuklir sangat penting dilakukan untuk mengatasi krisis iklim.
Pro dan Kontra terhadap Energi Nuklir
Negara-negara Uni Eropa (UE) seperti Prancis, yang mendapatkan sekitar 70% listriknya dari tenaga nuklir, percaya energi nuklir dapat membantu memenuhi tujuan iklim Eropa yang ambisius.
Meski begitu, negara-negara Uni Eropa masih terbelah terkait penggunaan energi nuklir, dengan dua kubu yang berbeda. Satu kubu dipimpin Prancis yang percaya bahwa pengembangan nuklir sangat penting.
Kubu yang lain, termasuk di dalamnya negara-negara antinuklir seperti Austria dan Jerman, ingin fokus pada sumber-sumber energi terbarukan seperti angin dan tenaga matahari. Jerman, Austria, dan Spanyol saat ini sedang menghadapi masalah keamanan dan lingkungan terkait energi nuklir, termasuk limbah yang dihasilkannya.
Sementara itu, aktivitas lingkungan, termasuk Greenpeace menggelar aksi demo saat KTT Energi Nuklir di Brussels digelar. Mereka menilai energi nuklir merupakan solusi palsu dalam upaya transisi energi.
“Tenaga nuklir terlalu lambat untuk mengatasi keadaan darurat iklim,” kata Lorelei Limousin, Juru kampanye iklim dan energi untuk Greenpeace Uni Eropa di Brussels.
Selain itu, menurutnya teknologi dalam pengembangan energi nuklir sangat mahal dibandingkan sumber energi terbarukan lainnya. Apalagi, tenaga nuklir masih dianggap berbahaya karena memiliki risiko tinggi terhadap kesehatan, lingkungan, keselamatan.