Sebanyak 75 persen sumber energi dunia akan berasal dari energi baru terbarukan atau EBT pada 2050. Teknologi akan menjadi kunci dari energi baru, bukan lagi bahan bakar.

Hal itu tercantum dalam World Energy Transition Outlook atau Outlook Transisi Energi Dunia yang dikeluarkan Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA). 

Dalam laporan tersebut disebutkan listrik akan menjadi energi utama dengan memenuhi lebih dari 50 persen konsumsi pada 2050. Sistem berbasis energi terbarukan ditandai dengan tingginya elektrifikasi dan efisiensi, dilengkapi dengan hidrogen hijau dan biomassa berkelanjutan.

Dari perkiraan IRENA, dibutuhkan 11 terawatt atau 11.000 gigawatt kapasitas energi terbarukan terpasang pada 2030, untuk menjaga skenario peningkatan suhu bumi tidak melewati ambang batas 1,5 derajat Celsius sebagaimana Perjanjian Paris.

Dengan demikian, diperlukan peningkatan energi terbarukan sebanyak tiga kali lipat dan efisiensi energi sebesar dua kali lipat yang juga ditegaskan dalam KTT Iklim COP 28 di Dubai, November 2023 lalu.

“Akibatnya, pergeseran geopolitik besar akan sangat mempengaruhi dinamika perdagangan energi, mengubah ketergantungan internasional, dan membentuk kembali lanskap geopolitik. Perdagangan listrik lintas batas akan semakin menonjol, sehingga mendorong untuk saling menguntungkan, berbeda dengan ketergantungan asimetris pada sektor minyak dan gas,” menurut laporan IRENA, dikutip dari Antara, Jumat (19/4).

Direktur Jenderal IRENA, Fransesco La Camera, mengatakan pengembangan energi terbarukan membawa transformasi besar untuk sistem energi global. Hal itu akan memperkuat ketahanan melalui desentralisasi dan optimalisasi sumber-sumber domestik.

“Energi terbarukan akan membawa ketahanan yang lebih besar melalui desentralisasi dan ketergantungan yang lebih besar pada sumber-sumber domestik,” ujarnya.

Menurut La Camera, sangat penting bagi berbagai pihak untuk membentuk faktor ketahanan energi ini dengan kebijakan dan investasi yang memiliki pandangan jauh ke depan.

Ia menilai diperlukan pendekatan yang holistik untuk pengembangan energi terbarukan dari mulai modernisasi strategi hingga diplomasi.

Pengembangan energi terbarukan juga memperlihatkan bahwa strategi keamanan energi kini harus mencakup integrasi dari penyelesaian masalah lingkungan, tren ekonomi dan dampak sosial.

Laporan baru IRENA juga menunjukkan bahwa ketahanan energi di era energi terbarukan perlu dikembangkan di beberapa bidang utama. Hal itu antara lain, penekanan pada rantai pasokan teknologi yang tangguh untuk mendukung transisi baik untuk negara maju maupun berkembang.

Selain itu, pertimbangan keamanan dan politik akan menjadi kunci keberhasilan penerapan infrastruktur yang diperlukan.

Infrastruktur sistem energi terbarukan harus memiliki ketahanan yang tinggi terhadap cuaca ekstrem,ancaman dunia maya dan serangan fisik. Hal itu dibutuhkan dalam sarana prasarana yang menerapkan elektrifikasi dan digitalisasi tinggi.

Dalam sidang umum ke-14 IRENA itu, Indonesia yang diwakili Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM RI Dadan Kusdiana mengatakan Indonesia terus mengembangkan kapasitas energi terbarukan. Indonesia melihat pembangunan hidrogen hijau sebagai bagian penting.

Ia mengungkapkan Indonesia juga berusaha untuk mengoptimalkan pengembangan dan penggunaan mineral kritikal di wilayah energi bersih.

Upaya untuk mengembangkan energi terbarukan, kata Dadan, menjadi lebih kompetitif dalam hal biaya dan efektivitas karena momentum mengenai transisi energi global.

Sebagaimana Enhanced-Nationally Determined Contribution (E-NDC), Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon secara total dari 29 persen atau 835 juta ton CO2 menjadi 32 persen atau 912 juta ton CO2 pada 2030. Indonesia juga terus mengakselerasi program transisi energi dengan target mencapai nol emisi pada 2060 atau lebih awal.

Reporter: Antara