Sri Mulyani: Butuh APBN yang Kuat untuk Jalankan Transisi Energi

ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan saat konferensi pers APBN KiTa edisi April 2024 di Jakarta, Jumat (26/4/2024). Berdasarkan data Kementerian Keuangan hingga 31 Maret 2024, posisi APBN mengalami surplus sebesar Rp8,1 triliun atau 0,04 persen dari produk domestik bruto (PDB).
2/5/2024, 20.39 WIB

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menekankan pentingnya kekuatan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam efektivitas transisi energi. Ia mengatakan ada tiga tantangan suatu negara upaya transisi energi, yaitu energy security, energy sustainability, dan energy affordability.

Hal ini diungkapkan Sri Mulyani dalam Islamic Development Bank (IsDB) Annual Meeting dalam panel diskusi bertajuk “Future Vision Symposium”, Selasa (30/4).

“Dibutuhkan APBN yang sehat dan kuat serta strategi menarik pendanaan global yang efektif untuk dapat menjalankan transisi energi secara efektif dan sustainable,” kata Sri Mulyani dalam keterangan pers dikutip, Kamis (2/5).

Sri Mulyani mengatakan, proses menuju transisi energi tidak hanya rumit dan kompleks, tetapi juga membutuhkan biaya yang tinggi. Menurutnya, kita harus mampu menjaga kepentingan nasional dan memperjuangkan sebuah proses transisi yang adil dan terjangkau.

Dia juga menceritakan strategi Indonesia menjalankan transisi energi menuju net zero emission (NZE) dan meningkatkan energi terbarukan. Ia menyebut hal itu memerlukan kebijakan yang kompleks dan sensitif serta membutuhkan pembiayaan yang sangat besar dan menantang.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya APBN yang sehat dan kuat serta strategi pendanaan global yang efektif untuk dapat menjalankan transisi energi secara efektif dan berkelanjutan.

Investasi Hijau Asia Tenggara

Negara-negara di Asia Tenggara ramai membicarakan isu keberlanjutan lingkungan dalam beberapa tahun terakhir.

Meski demikian, hal itu tak selaras dengan temuan riset Bain and Company, Temasek, GenZero, bersama Amazon Web Services melalui laporan bertajuk Southeast Asia’s Green Economy 2023 Report. Laporan itu menemukan bahwa nilai investasi yang diterima untuk mendukung ekonomi hijau (green economy) di kawasan Asia Tenggara justru menurun dalam dua tahun terakhir.

Tercatat, nilai investasi hijau Asia Tenggara pada 2022 hanya mencapai US$5,2 miliar atau setara Rp77,45 triliun (kurs Rp14.895/US$). Angka tersebut turun 7% dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Pada 2021, nilai investasi hijau negara-negara di kawasan ini mencapai US$5,6 miliar atau setara Rp83,41 triliun. Nilai itu juga menurun jika dibandingkan pada 2020, yang nilainya sempat mencapai di angka US$6,6 miliar atau Rp98,3 triliun.

Menurut Bain and Company, penurunan investasi asing menjadi salah satu alasan merosotnya penerimaan sektor ini pada 2022. Tercatat, investasi dari luar Asia Tenggara mengalami penurunan hingga 50% (yoy), meskipun investasi antarnegara di kawasan justru mengalami peningkatan 2 kali lipat.

Bain and Company mengatakan, komitmen investasi hijau di kawasan Asia Tenggara pada 2022 meningkat, namun belum terealisasikan ke dalam bentuk belanja modal.

“Komitmen modal baru dari pemerintah dan korporasi meningkat, tetapi belum diwujudkan ke dalam lebih banyak transaksi dan pengeluaran dalam skala besar,” kata Bain and Company.

Reporter: Rena Laila Wuri