Yayasan Indonesia Cerah menilai program hilirisasi nikel yang digadang pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi belum sejalan dengan transisi energi. Hal ini bisa dilihat dari kuota produksi nikel baterai yang jauh lebih sedikit dibanding nikel untuk baja tahan karat.
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia resmi menghentikan ekspor bijih nikel mentah sejak Januari 2020. Pemerintah mengatakan akan fokus pada peningkatan nilai tambah melalui proyek hilirisasi. Melalui hilirisasi nikel, pemerintah Indonesia berambisi untuk menjadi pemain kunci dalam industri baterai dan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) atau electric vehicle (EV) dunia.
Investasi ini dinilai menjanjikan seiring dengan proyeksi meningkatnya kebutuhan dunia terhadap bahan baku baterai sebagai penyimpan energi di sektor pembangkit listrik maupun transportasi.
Menurut U.S Geological Survey 2023, Indonesia diprediksi memiliki cadangan nikel 21 juta ton atau 42,3% dari cadangan nikel dunia pada 2023. Namun, data yang dihimpun oleh Indonesia Cerah, 96,4% produk hilirisasi nikel yang dihasilkan merupakan jenis nikel kualitas rendah seperti NPI dan FeNi.
Rata-rata produksi tahunan masing-masing NPI sebesar 861 ribu ton dan FeNi sekitar 1,18 juta ton. Dua material ini sebagai bahan baku baja tahan karat.
Sedangkan nickel matte, bahan baku baterai, rata-rata hanya 80 ribu ton atau 3,8% dari total produksi domestik. Kendati nikel kualitas rendah bisa dikonversi jadi nikel kelas 1, namun teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang dibutuhkan untuk mengubah jenis bijih nikel limonite menjadi mixed hydroxide precipitate (MHP) masih sangat terbatas.
Teknologi ini baru dijalankan di beberapa perusahaan seperti PT Halmahera Persada Lygend, PT Huayue Nickel Cobalt dan PT QMB New Energy Material.
“Selama dua hingga tiga tahun ke depan, saat penjualan kendaraan listrik global terus meningkat, Indonesia diprediksi akan tetap memasok nikel kelas non-baterai lebih banyak dibanding nikel kelas baterai,” tulis laporan Indonesia Cerah yang berjudul “Hilirisasi Nikel, Sudahkah Sejalan dengan Transisi Energi?” dikutip, Jumat (3/5).
Menurut Indonesia Cerah, pemerintah selama ini hanya mengglorifikasi bahwa proyek hilirisasi nikel adalah salah satu cara mendukung transisi energi dengan menyediakan sumber bahan baku baterai untuk mobil listrik. Pada kenyataannya, klaim tersebut tidak signifikan jika dilihat dari kuota produksi nikel saat ini.
Di sisi lain, penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti PLTU captive masih mendominasi industri smelter nikel. Pada 2023, Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM) mengungkap, sekitar 10.821 MW (23,7%) listrik dari pembangkit batu bara di Indonesia, berasal dari PLTU captive. Sebanyak 67% di antaranya digunakan di proyek smelter nikel.
Hal ini menegaskan bahwa proyek hilirisasi belum sejalan dengan transisi energi. Karena itu, pemerintah butuh mentransformasi berbagai aturan, perencanaan, hingga investasi terkait hilirisasi agar sejalan dengan tujuan transisi energi.
Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah menghentikan pembangunan PLTU captive melalui perubahan regulasi seperti Peraturan Presiden No 112/2022. Selain itu, pemerintah perlu mendorong transisi pembangkit listrik ke energi terbarukan, dan membatasi produk penambangan nikel yang berfokus pada produksi bahan baku stainless steel.