Fraksi PKS Tolak Pasal Power Wheeling, Pembahasan RUU EBET Masih Alot

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.
Dosen Politeknik Negeri Kupang, Daud Obed Bekak melakukan perawatan instalasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk mesin pompa air di persawahan Desa Pukdale, Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu (29/6/2024).Dua set PLTS yang masing-masing berdaya 1.200 watt peak (WP) tersebut merupakan hasil kerja sama Pertamina dengan Politeknik Negeri Kupang melalui program Desa Energi Berdikari Sobat Bumi dan saat ini menjadi sumber tenaga pompa kebutuhan air irigasi untuk delapan hek
8/7/2024, 12.53 WIB

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RRU EBET) diperkirakan tidak akan rampung pada  Masa Sidang V tahun 2023/2024 yang berlangsung hingga 11 Juli ini. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum menyepakati pasal mengenai power wheeling.

Power wheeling merupakan mekanisme yang memperbolehkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung terhadap masyarakat melalui jaringan transmisi milik negara.

Salah satu yang menolak aturan tersebut adalah Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI. Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mengatakan dalam rapat antara pemerintah dan DPR belum ada kesepakatan mengenai pasal yang di dalamnya mengatur tentang skema power wheeling.

"Fraksi PKS menolak masuknya pasal ini dan minta pembahasan dilakukan di tingkat rapat kerja," ujar Mulyanto dikutip dalam keterangan tertulis, Senin (8/7).

Namun mengingat jadwal Masa Sidang V yang padat dan berakhir pada tanggal 11 Juli 2024, maka dapat diperkirakan baik rapat tim perumus, tim sinkronisasi, maupun rapat kerja terkait RUU EBET ini tidak dapat diselenggarakan pada masa sidang ini. Dengan demikian, pembahasan akan dilanjutkan pada masa sidang berikutnya.

Mulyanto mengatakan, PKS menolak dimasukkannya pasal terkait power wheeling bukan sekedar mengatur soal sewa jaringan transmisi PLN oleh pihak swasta. Namun, terdapat implikasi yang krusial yaitu dimungkinkannya pihak pembangkit listrik swasta untuk menjual listrik secara langsung kepada pengguna listrik dengan mengambil peran PLN.

Jika aturan tersebut diterapkan, Mulyanto mengatakan, PLN tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga dalam sistem single buyer and single seller (SBSS). Nantinya akan ada banyak pihak swasta yang membeli dan menjual listrik serta membentuk multi buyer and multi seller system (MBMS).

Dengan kata lain, pengusahaan listrik tidak lagi hanya dimonopoli oleh PLN, tetapi berpotensi diliberalisasi kepada pihak swasta dengan mengikuti mekanisme pasar.

"Ini soal penting dan prinsip karena norma tersebut tidak sesuai dengan semangat konstitusi yang menempatkan sektor kelistrikan sebagai cabang usaha penting dan strategis yang dikuasai oleh negara sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang pengusahaannya dilakukan oleh perusahaan negara," ucapnya.

Mulyanto mengatakan, memasukkan pasal power wheeling sama dengan membuka kotak Pandora yang menjadikan listrik sebagai komoditas pasar. Pengusahaannya bisa dilakukan oleh orang per orang yang harganya ditentukan oleh mekanisme pasar.

Hal tersebut juga mengarah kepada upaya Mahkamah Konstitusi yang dua kali melakukan Judicial Review (JR) terhadap UU Ketenagalistrikan pada tahun 2003 terhadap UU No. 20 tahun 2002, dan tahun 2015 terhadap UU No. 30 Tahun 2009.
Hasilnya, MK menolak prinsip unbundling atau tidak terintegrasi dan menegaskan, bahwa sektor ketenagalistrikan harus dikuasai oleh Negara.

Oleh sebab itu, Mulyanto meminta pemerintah tidak memaksakan untuk memasukkan skema power wheeling tersebut.

Kementerian ESDM Ajukan Power Wheeling

Sebelumnya, Kementerian ESDM mengajukan skema power wheeling di dalam RUU EBET. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi mengatakan, permasalahan terkait sewa transmisi sebenarnya sudah dengan jelas tercantum dalam Undang-Undang (UU) Ketenagalistrikan yang telah diterapkan di Indonesia.

"Sewa transmisi itu sudah dijelaskan di Undang-Undang Ketenagalistrikan. Itu sama persis yang kita cantumkan di RUU EBET ini," ujar Eniya saat ditemui di JCC, Kamis (4/7).

Eniya menyebut dalam RUU EBET skema power wheeling hanya ditambahkan penekanan khusus untuk EBT. Harapannya mampu mendorong akselerasi EBT di Indonesia.

"Kita bahas sewa jaringan, terus ketentuan-ketentuan yang tercantum itu sama dengan yang sudah di Undang-Undang Ketenagalistrikan," ujarnya.

Lanjutnya, mengenai harga dan ketentuan penggunaan transmisi PLN untuk listrik EBT akan ditentukan dan diatur oleh Menteri ESDM.

Mengenai informasi yang beredar terkait dampak kerugian yang akan dialami PLN jika diterapkan skema power wheeling dalam RUU EBET, Eniya menyatakan hal tersebut sudah dapat diantisipasi. Ia menjelaskan pemerintah dan DPR sudah menghitung bahwa PLN tetap akan menerima keuntungan dengan sistem power wheeling.

Pada tahun lalu, skema power wheeling sempat dihapus dari daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU EBET dengan dalih PLN sedang mengalami kelebihan pasokan atau oversupply listrik.




Reporter: Djati Waluyo