Rekomendasi Cerah: Energi Baru Harus Dihilangkan dari RUU EBET
Peneliti Yayasan Indonesia Cerah, Sartika Nur Shalati, berharap pemerintah atau DPR perlu menghilangkan unsur energi baru dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Energi Terbarukan (EBET). Energi baru dinilai bukan solusi energi bersih karena masih menggunakan energi fosil.
"Karena energi baru sendiri kan adalah solusi palsu untuk transisi energi," ujar Sartika dalam diskusi "Satu Dekade Presiden Jokowi : Sejauh Mana Transisi Energi Indonesia?", Jumat (26/7).
Menurutnya, energi baru dan energi terbarukan merupakan dua hal berbeda yang tidak bisa disatukan dalam satu konsep. Energi terbarukan berasal dari alam yang tidak akan habis seperti angin, matahari, dan air.
Sementara energi baru sebenarnya masih menggunakan energi fosil yang kemudian dimodifikasi dengan teknologi. Energi baru tersebut misalnya proyek gasifikasi batubara atau mengubah batubara menjadi gas yang diklaim mampu menekan emisi.
Selain itu, terdapat juga teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCS), juga Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) untuk menangkap emisi yang dihasilkan oleh PLTU. Dia mengatakan, penggunaan CCUS dan CCS menyebabkan penggunaan energi fosil terus berlanjut. Padahal untuk menekan emisi, penggunaan energi fosil perlu disetop.
"Kenapa ini berbahaya? Karena ini akan meningkatkan penggunaan energi fosil," ujarnya.
Pembahasan RUU EBET
Saat ini, pemerintah mengebut penyelesaian draf Rancangan Undang-undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET) yang saat ini tengah digodok bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Pembahasan RUU EBET tersebut diharapkan rampung tahun sebelum pergantian presiden yang baru.
"Kita lagi dorong terus, mudah-mudahan clear lah (pembahasannya). Ini rapat terus supaya tahun ini bisa diundangkan dan turunan regulasinya dipercepat," kata Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Hendra Iswahyudi, di Jakarta, Rabu (3/7).
Dia mengatakan, saat ini masih ada satu pembahasan yang belum mendapatkan titik temu antara Kementerian ESDM dan DPR yaitu pemanfaatan bersama jaringan listrik. Hal itu diharapkan dapat mengoptimalkan utilitas jaringan sehingga bisa mendorong penyaluran listrik EBT.
Hendra mengatakan, Kementerian ESDM mendorong power wheeling ada di RUU EBET. Hal itu terutama untuk melayani perusahaan yang sepenuhnya ingin menggunakan energi terbarukan secara penuh.
Dalam kesempatan itu, Hendra juga menegaskan jika bauran energi baru terbarukan (RUU EBET) belum berubah yaitu sebesar 23 persen pada 2025. Dia mengakui target tersebut sulit dicapai karena realisasi bauran EBT hingga akhir 2023 baru mencapai 13 persen. Namun, pemerintah berupaya untuk mengejar target bauran tersebut.
Menurut laporan Kementerian ESDM, batu bara dan minyak bumi masih mendominasi bauran energi Indonesia. Pada 2023, bauran batu bara dalam energi primer nasional mencapai 40,46%, dan minyak bumi 30,18%.
Sementara bauran gas bumi 16,28%, dan energi baru terbarukan (EBT) paling kecil, yakni 13,09%. Kementerian ESDM mencatat, bauran EBT sebenarnya ditargetkan naik menjadi 17,9% pada 2023. Namun, target ini belum berhasil tercapai.
"Peningkatan (bauran EBT) ada, tapi belum signifikan," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam konferensi pers, Senin (15/1).
"Perlu upaya keras untuk bisa mendekati target capaian (bauran EBT). Tahun 2025 itu kita targetkan 23% bauran EBT," kata Arifin.
Kementerian ESDM juga menyatakan telah menyiapkan strategi untuk menaikkan bauran EBT, yaitu: Pelaksanaan pembangunan pembangkit EBT dengan target 10,6 gigawatt (GW) pada 2025; Implementasi program PLTS Atap, dengan target 3,6 GW pada 2025; Konversi pembangkit diesel ke EBT; Program mandatori B35, dengan target 13,9 juta kiloliter pada 2025; Program co-firing biomassa pada PLTU, dengan target 10,2 juta ton pada 2025; Penyediaan akses EBT di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T); Eksplorasi energi panas bumi; dan Pemanfaatan EBT off-grid dan langsung.