Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Universitas Diponegoro Semarang menggagas riset mengenai potensi pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia. Sumber daya manusia di Indonesia dinilai lebih mumpuni membangun pembangkit nuklir dibandingkan tiga dekade lalu.
"Belum ada wacana pembangunan (PLTN), tapi ini sebuah diskursus baru yang selayaknya masyarakat Indonesia mulai 'aware' bahwa kita perlu teknologi untuk bertahan," kata Anggota Dewan Pengarah BRIN Tri Mumpuni di Semarang, seperti dikutip dari Antara, Senin (29/7).
Dia mengatakan hal tersebut saat bertemu dengan peneliti Centre for Plasma Research di Fakultas Sains dan Matematika (FSM) Undip. Pada 2060, kata dia, Indonesia berkomitmen untuk mencapai target "net zero emission" atau emisi nol bersih.
"Itu artinya kita perlu teknologi bersih. Apa yang mau dipakai kalau total semua jumlah energi terbarukan tidak mampu mencukupi kebutuhan kita di 2060?" katanya.
Menurut dia, permasalahan tersebut perlu disikapi secara realistis dan sudah selayaknya nuklir menjadi sesuatu yang dibicarakan sebagai solusi. Terlebih saat ini teknologi nuklir sudah lebih maju dibandingkan sebelumnya.
"Dulu kan (nuklir) dianggap tabu, saya termasuk menentang (rencana pembangunan PLTN Muria) tahun 1991. Karena saya melihat belum ada teknologi yang seaman teknologi sekarang," katanya.
Namun, Tri mengatakan, saat ini sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki Indonesia sudah banyak dan mumpuni di bidang nuklir dibandingkan dengan 33 tahun lalu. Pasalnya sudah banyak yang menimba ilmu reaktor nuklir di luar negeri.
"Sayang sekali kalau ilmunya tidak dimanfaatkan," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, SDM mumpuni di bidang nuklir yang dimiliki perlu dikumpulkan untuk mendiskusikan potensi pengembangan pemanfaatan energi nuklir di Indonesia.
"Sayang sekali kalau selama ini kalau ada teknologi hebat kita hanya jadi penonton. Ujung-ujungnya jadi pasar dan kita sendiri tidak punya kapasitas," kata Tri.
Ketua Centre for Plasma Research FSM Undip Muhammad Nur mengatakan bahwa Undip perguruan tinggi yang paling terdepan dalam mempelajari teknologi plasma, termasuk Plasma Tokamak untuk reaktor fusi nuklir.
"Kalau fusi (nuklir) berat, Indonesia belum sampai, dunia saja belum. Tapi kalau fisi sangat mungkin. Apalagi ada berita baru tentang fisi mikro, 'very small' hanya (berkapasitas) 1-4 MegaWatt. Sangat kecil," katanya.
Dia mengatakan, teknologi nuklir yang dikembangkan sekarang adalah teknologi generasi keempat yang sangat berbeda dengan di Chernobyl (Rusia) maupun Fukushima (Jepang) yang merupakan generasi pertama. Undip berkomitmen untuk mendukung riset tentang pengembangan PLTN, termasuk mengumpulkan rekan-rekan periset di tim lama saat rencana pembangunan PLTN Muria dulu.
"Generasi keempat itu saya tahu bahwa limbahnya usianya pendek, usia aktifnya, kemudian (ukurannya) kecil. Kalau biasanya 800 MW, sekarang 4 MW. 200 kali lebih kecilnya, kecil sekali, dan itu bisa ditempatkan di pulau-pulau yang jauh," katanya.