Luhut Sebut Pemerintah Tengah Garap Peta Jalan BBM Hijau untuk Penerbangan
Menteri Koordinator Kementerian Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan pemerintah berencana memperluas pemanfaatan biofuel ke sektor penerbangan dengan Sustainable Aviation Fuel (SAF). Perluasan biofuel ke bidang penerbangan diwujudkan melalui Peta Jalan Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan Nasional dan rencana Aksi Kebijakan yang dikawal oleh Kemenko Marves serta stakeholder lainnya.
“Selama pengembangan ekosistem SAF dalam negeri. Pemerintah berpegang pada tiga prinsip, yaitu ketahanan energi, nilai ekonomi, dan keberlanjutan penerbangan,” tutur Luhut saat menjadi keynote speaker pada acara Indonesia Oil & Gas Supply Chain & National Capacity Summit 2024 di Jakarta Convention Centre, Rabu (14/8).
Luhut mengatakan, peta jalan dan rencana aksi kebijakan ini telah dirancang sekomprehensif mungkin, melalui konsultasi intensif dengan pemangku kepentingan industri, lintas kementerian, akademisi, asosiasi industri, dan pemangku kepentingan lainnya. Hal itu dilakukan untuk memastikan kebijakan berjalan secara koheren dan menyentuh seluruh aspek ekosistem SAF.
Dia berharap ke depannya ada upaya terkoordinasi dari pemerintah untuk meningkatkan dampak dan efektivitas strategi ini. Selain itu, kolaborasi publik dan swasta perlu ditingkatkan untuk memungkinkan terwujudnya ketahanan energi, penciptaan nilai ekonomi, dan keberlanjutan.
Menurut laporan Statistical Review of World Energy dari British Petroleum (BP), saat ini Indonesia memang masuk ke jajaran produsen biofuel terbesar dunia, meskipun belum jadi nomor satu.
BP mengestimasikan, pada 2022 produksi biofuel Indonesia mencapai 174 ribu barel ekuivalen minyak per hari, terbesar ke-3 di skala global.
Namun, capaian Indonesia masih tertinggal jauh dari Brasil dan Amerika Serikat, yang produksi biofuel-nya sekitar 2 sampai 4 kali lipat lebih besar dari Indonesia, dengan rincian seperti terlihat pada grafik.
Selain SAF, Luhut berharap, pemerintah juga sedang fokus pada carbon capture and storage (CCS) untuk mengurangi intensitas karbon di hulu minyak dan gas serta sektor lain dengan emisi tinggi lainnya. Di kawasan Asia Pasifik, Indonesia memiliki kapasitas penangkapan karbon terbesar ketiga yaitu 600 giga ton, tepat di belakang Tiongkok dan Australia.
"Implementasi pada sektor-sektor lain yang mempunyai emisi tinggi untuk mengurangi jejak karbon produk demi akses berkelanjutan terhadap pasar-pasar yang sensitif terhadap karbon," ujarnya.