Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menyoroti sejumlah negara yang mulai mengarahkan masa depannya ke ekonomi hijau. Indonesia harus memanfaatkan momentum tersebut karena memiliki potensi yang besar.
"Indonesia tidak ingin kehilangan momentum karena memiliki potensi besar di sektor energi hijau, yaitu sekitar lebih dari 3.600 GW, baik dari energi air, angin, matahari, panas bumi, gelombang laut, dan bio energi" ujarnya saat pidato sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Dia mengatakan, pemerintah Indonesia terus konsisten mengambil bagian dalam langkah dunia melakukan transisi energi secara hati-hati dan bertahap. Transisi energi yang ingin kita wujudkan adalah transisi energi yang berkeadilan, yang terjangkau dan mudah diakses oleh masyarakat.
Di kesempatan yang sama, Ketua MPR, Bambang Soesatyo, mengatakan Indonesia telah berkomitmen secara bertahap menekan emisi gas rumah kaca dengan mengurangi porsi penggunaan energi fosil. Indonesia juga mulai beralih pada energi baru dan terbarukan.
"Transisi energi ini merupakan pekerjaan besar, yang membutuhkan investasi sangat besar, dan tidak akan tuntas hanya dalam tiga sampai lima tahun," ujarnya.
Investasi Transisi Energi Global Catat Rekor Baru
Menurut lembaga riset BloombergNEF, nilai investasi transisi energi global mencapai US$1,77 triliun pada 2023. Angkanya naik sekitar 17% dibanding 2022 sekaligus menjadi rekor tertinggi baru.
Data investasi transisi energi ini mencakup penanaman modal di sektor energi terbarukan, jaringan ketenagalistrikan, kendaraan listrik, pengembangan energi hidrogen, nuklir, sampai penyimpanan emisi karbon atau carbon capture and storage (CCS).
Adapun aliran modal global pada 2023 paling banyak masuk ke sektor kendaraan listrik.
"Kendaraan listrik menjadi pendorong utama investasi pada 2023 dengan nilai US$634 miliar, naik 36% dibanding tahun sebelumnya," kata tim BloombergNEF dalam laporan Energy Transition Investment Trends 2024.
Mereka juga mencatat, pada 2023 investasi transisi energi global paling banyak berasal dari China, dengan nilai penanaman modal US$676 miliar atau 38% dari akumulasi global.
Meski tren investasinya terus meningkat, BloombergNEF menilai seluruh dana tersebut belum cukup untuk mengantisipasi perubahan iklim.