Pemerintahan Prabowo Didesak Segera Rumuskan Peta Jalan Pensiun Dini PLTU
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan mendesak Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk segera merumuskan peta jalan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Prabowo juga diminta menyiapkan jaringan pengaman sebagai pengganti sumber listrik kotor.
Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah, Agung Budiono, mengatakan semakin cepat pensiun dini PLTU dilaksanakan dan digantikan dengan energi terbarukan, akan membawa keuntungan ekonomi yang lebih besar bagi Indonesia.
“Temuan Penelitian Celios dan CERAH terkait dengan dampak ekonomi pensiun dini pada PLTU Cirebon-1, PLTU Pelabuhan Ratu, dan PLTU Suralaya diproyeksi memiliki dampak terhadap produk domestik bruto (PDB) dengan peningkatan hingga Rp 82,6 triliun,” ujar Agung dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (13/9).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Humanis Foundation, Tunggal Pawestri, mengatakan pemerintah harus memikirkan dampak langsung terhadap masyarakat rentan, khususnya pekerja, kelompok informal dan komunitas dalam melaksanakan pensiun dini PLTU. Kelompok rentang tersebut bergantung pada sektor tersebut.
"Kebijakan perlindungan jaminan sosial, program pelatihan, dan penciptaan lapangan kerja lokal baru harus menjadi bagian integral dari transisi, agar tidak memperburuk kesejahteraan masyarakat yang paling terdampak,” ujar Tunggal.
Pemerintah Kebut Kesepakatan Pensiun Dini PLTU
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan program pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon-1 masih berlangsung dan tengah dalam tahap proses kesepakatan. Pensiun dini PLTU Cirebon membutuhkan dana sekitar 1,3 miliar dolar AS atau Rp 20 triliun (kurs Rp 15.443 per Dolar AS).
“Ya karena (masih) work in progress,” kata Sri Mulyani di acara Indonesia International Sustainibility Forum (ISF 2024) di Jakarta, Jumat (6/9).
Sebelumnya, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon-1 ditargetkan pensiun dini pada 2035. Rencana ini tujuh tahun lebih cepat dari rencana awal yakni Juli 2042. Sri Mulyani mengatakan bahwa memang ada tantangan yang menjadi alasan terhambatnya proses tersebut, salah satunya yakni kebutuhan biaya yang sangat besar.
"Tantangannya kita lihat dari biaya yang muncul akibat dari keputusan itu, konsekuensinya terhadap PLN, terhadap APBN dan private sector," ujarnya.
Namun demikian, Bendahara Negara itu menyampaikan bahwa pihaknya akan terus mengusahakan agar program pensiun dini PLTU berkapasitas 660 Megawatt (MW) itu bisa terealisasi sebelum pemerintahan Prabowo-Gibran. Ia juga tetap memastikan bahwa proses tersebut sesuai dengan aturan hukum yang berlaku serta tidak merugikan negara.
Adapun program pensiun dini PLTU itu dijalankan melalui skema Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform. Ini merupakan pendanaan campuran untuk memobilisasi sumber daya keuangan dan dukungan internasional.