Harga Panel Surya Turun 66%, Peluang Negara ASEAN Dongkrak Industri Hijau
Harga panel surya turun 66% dalam lima tahun terakhir mendorong adopsi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN tersebut mulai bergeliat membangun industri hijau.
Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Alvin P Sisdwinugraha, mengatakan penurunan harga teknologi panel surya membuka peluang besar untuk pemanfaatan energi terbarukan di kawasan ini. Produksi modul surya di Asia Tenggara juga kompetitif.
"Oleh karena itu diperlukan insentif industri untuk mendukung pengembangan sektor ini, seperti yang diterapkan Malaysia dan India," kata Alvin melalui keterangan tertulis dikutip Kamis (19/9).
Dia mengatakan, kesepakatan kerjasama ekspor listrik antara Indonesia dan Singapura yang mensyaratkan pembangunan rantai pasok energi surya di Indonesia, merupakan langkah penting menuju terwujudnya ASEAN Power Grid atau jaringan bersama ASEAN. Potensi penciptaan lapangan kerja hijau juga signifikan, khususnya dalam industri manufaktur modul surya yang membutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan tinggi.
"Kerjasama antara institusi pendidikan dan riset lokal dengan industri diperlukan untuk meningkatkan kapasitas tenaga kerja dan memastikan transfer teknologi kepada produsen lokal,” ujar Alvin.
Manajer Diplomasi Iklim dan Energi IESR, Arief Rosadi, mengatakan ASEAN Power Grid dapat dioptimalkan untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan yang tinggi dan memastikan ketahanan energi kawasan. Selain itu, peluang pengembangan ekosistem kendaraan listrik yang tertuang dalam Pernyataan ASEAN+3 tahun lalu juga membuka peluang kerjasama internasional yang tidak hanya menguntungkan lingkungan, tetapi juga memberikan nilai ekonomi bagi negara-negara anggota.
Arief menyebut Asia Tenggara mempunyai sumber daya mineral kritis yang diperlukan dalam pengembangan energi terbarukan. Sumber daya tersebut di antaranya nikel sebesar 27 persen, timah 32 persen, unsur tanah jarang 36 persen, dan bauksit dari 22 persen dari total cadangan global.
“Keberadaan sumber daya mineral kritis di Asia Tenggara ini, dapat merangsang investasi lebih lanjut di sektor manufaktur panel surya dan baterai. Serta dapat mendorong potensi kerjasama energi transisi energi yang lebih luas di kawasan yang dapat memberi nilai tambah ekonomi” kata Arief.