IEEFA: Skema Jaringan Listrik Bersama Bakal Dongkrak Investasi Hijau
Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai rencana pemerintah menerapkan skema pemanfaatan jaringan bersama atau power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET) berpotensi menaikkan investasi hijau di Indonesia.
Analis Keuangan Energi, Mutya Yustika, mengatakan keyakinan tersebut muncul dari semakin banyaknya perusahaan internasional yang berkomitmen untuk menggunakan energi terbarukan 100%. Menurutnya, power wheeling di Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi, menciptakan lapangan kerja baru, dan membantu negara memenuhi target dekarbonisasi tanpa membebani anggaran nasional.
"Ini juga akan membantu PLN fokus pada modernisasi dan peningkatan jaringan untuk memfasilitasi transisi energi,” ujar Mutya dalam keterangan tertulis, Selasa (8/10).
Mutya mengatakan, mekanisme power wheeling memungkinkan produsen listrik swasta (IPP) menjual listrik energi terbarukan langsung ke pelanggan melalui transmisi milik PT PLN (Persero).
Mekanisme ini dapat menutup kesenjangan pasokan listrik hijau lantaran lambatnya pengembangan energi terbarukan skala utilitas oleh PLN. Di sisi lain, terdapat urgensi untuk memangkas emisi karbon kelistrikan Indonesia, yang saat ini mencapai lebih dari 682 gram CO2 setara per kilowatt hour (gCO2e/kWh). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu penghasil emisi global tertinggi.
Selain itu, mekanisme power wheeling juga didorong oleh lebih dari 430 perusahaan global besar dalam RE100, yang berkomitmen mencapai 60% listrik dari energi terbarukan pada 2030 dan 100% pada 2050. Saat ini terdapat 121 anggota RE100 yang beroperasi di Indonesia.
“Namun, perusahaan-perusahaan ini belum memiliki solusi energi terbarukan yang memadai untuk melistriki fasilitas dan rantai pasokan mereka, sehingga menghambat upaya komitmen RE100 dan mandat keberlanjutan perusahaan,” ungkapnya.
Dengan implementasi power wheeling, dia mengatakan, Indonesia dapat menangkap peluang investasi baru dari bisnis pusat data (data center). Google memiliki target untuk dapat mencapai emisi nol bersih di semua operasi dan rantai nilainya pada 2030. Microsoft juga berkomitmen untuk menjadi karbon-negatif pada tahun yang sama.
Sementara di Singapura yang selama beberapa tahun terakhir menjadi pusat data di Asia Tenggara, menghadapi kendala keterbatasan energi terbarukan dan biaya operasi yang lebih tinggi.
“Oleh karena itu, Indonesia perlu menyediakan akses berskala besar ke energi bersih untuk dapat ditawarkan kepada perusahaan seperti Google dan Microsoft sebagai pilihan untuk dapat membangun data center mereka di luar Singapura, yang juga dapat memenuhi tujuan keberlanjutan global mereka,” ucapnya.
Menurutnya, implementasi power wheeling juga akan menguntungkan PLN karena akan membantu menjaga pasokan listriknya, terutama di luar Pulau Jawa dan Bali. Selain itu, PLN juga akan mendapatkan aliran pendapatan tambahan dengan menyewakan fasilitas transmisi kepada perusahaan listrik swasta, melalui biaya jaringan bersama atau wheeling charge.
“Hanya saja, wheeling charge harus ditetapkan secara adil dan transparan untuk menghindari harga yang berlebihan sekaligus menjaga integritas sistem. Hal tersebut penting untuk dapat menarik investor dan juga melindungi PLN sebagai pemilik jaringan transmisi,” kata Mutya.
Meski demikian, penerapan power wheeling masih terhambat perselisihan internal di dalam pemerintah. Ada kekhawatiran power wheeling akan memperparah kelebihan pasokan listrik dan skema take-or-pay PLN dengan IPP. Hal ini bisa menimbulkan risiko keuangan yang signifikan bagi PLN.
“Solusi terhadap permasalahan tersebut seharusnya berupa negosiasi kontrak dengan IPP, efisiensi biaya, dan penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara yang tidak efisien yang dikombinasikan dengan formula power wheeling yang tepat,” tutupnya.