Ambisi Hong Kong: Andalkan Pembangkit Nuklir jadi Sumber Listrik Masa Depan

Katadata
PLTG Black Point di Hong Kong. Foto: Ameidyo/Katadata
7/11/2024, 18.22 WIB

Hong Kong - Usaha untuk transisi energi menuju ramah lingkungan dilakukan sejumlah wilayah di Asia, temasuk Hong Kong. Bahkan, mereka akan mengandalkan pembangkit listrik tenaga nuklir di masa depan.

Hal tersebut terlihat dalam kunjungan Katadata.co.id dan sejumlah media lain ke sejumlah pembangkit listrik di Hong Kong yang dioperasikan oleh CLP Group pada akhir Oktober 2024 lalu.

Katadata.co.id sempat diajak berkeliling ke salah satu pembangkit listrik, yakni Black Point yang berada di ujung barat Hong Kong. Pembangkit ini mengandalkan gas alam dengan bahan bakar cadangan diesel dengan kadar sulfur rendah.

Pasokan bahan bakar gas untuk pembangkit berkekuatan 3.750 Megawatt ini juga berasal dari ladang gas Yacheng, di dekat Pulau Hainan, Cina. Penggunaan gas ini merupakan bagian dari transisi CLP menuju arah berkelanjutan.

"Paling tidak di masa depan, 60% Hong Kong bisa dialiri listrik (dari nuklir)," kata Associate Director Decarbonisation Architecture CLP Power, Thomas Lui kepada Katadata.co.id saat ditanya target bauran energi Hong Kong.

Dalam pemaparannya, Thomas sempat menjelaskan Hong Kong akan mengurangi emisi karbon sebesar 50% pada 2035 serta carbon neutral pada 2050. Untuk mewujudkan sasaran ini, sektor energi akan memegang peranan penting.

Associate Director Decarbonisation Architecture CLP Power, Thomas Lui (Katadata)

Ia mengakui penggunaan batubara memang relatif lebih murah. Namun, karbon yang dihasilkan dari tiap pembangkit akan lebih besar dengan emas hitam tersebut.

"Saya melihat gas alam masih menjadi bagian yang penting untuk memasok pembangkit di Hong Kong. Porsinya (saat ini) sekitar 30%,” kata Lui.

Di masa depan, CLP akan mengandalkan pasokan energi nuklir dari pembangkit listrik yang berada di Guangdong, Cina. Salah satunya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Daya Bay yang berada di Guangdong, Cina yang saat ini telah beroperasi.

Pembangkit bertenaga 1.968 MW ini dimiliki oleh CLP Group dengan porsi saham 25%. Sedangkan sisanya dimiliki oleh Guangdong Nuclear Investment Company Ltd.

Lui juga memahami adanya kontroversi dari pembangkit listrik bertenaga nuklir. Namun ia menjanjikan listrik dari PLTN ini aman dan stabil untuk memasok listrik.

CLP adalah salah satu perusahaan pembangkit listrik terbesar di Asia-Pasifik. Perusahaan yang bermarkas di Hong Kong dan berdiri pada 1901 ini memiliki investasi di Hong Kong, Cina, India, Australia, Taiwan, serta Thailand.

CLP masih memiliki pembangkit listrik yang mengandalkan batubara yakni Castle Peak yang berada di samping Black Point. Pembangkit yang memiliki daya 4.108 MW ini beroperasi sejak 1980.

Adapun, pembangkit yang dimiliki perusahaan ini melayani 80% penduduk Hong Kong. Sisanya berasal dari pembangkit yang dioperasikan Hongkong Electric.

Tak hanya nuklir, CLP juga menjajaki pengembangan kebun angin lepas pantai sebagai sumber listrik di Hong Kong. Rencananya, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu tersebut akan dibangun di perairan Tenggara Hong Kong.

Pendanaan Pembangkit Listrik Jadi Fokus

Otoritas Hong Kong berusaha untuk mewujudkan target mereka tercapai pada 2050. Mereka telah meluncurkan aksi keuangan berkelanjutan baru-baru ini.

Salah satu yang menjadi bidang aksi adalah investasi di bidang ramah lingkungan.  Mereka juga memanfaatkan posisinya sebagai salah satu pusat keuangan dunia untuk mencari pendanaan.  

Sebagai informasi, volume obligasi hijau dan berkelanjutan yang diterbitkan dari Hong Kong meningkat sekitar 5 kali lipat, dari sekitar US$ 6 miliar dolar pada 2019 menjadi hampir US$ 30 miliar dolar atau setara Rp 473 triliun tahun lalu.

“Kami memuncaki pasar Asia dari tahun 2021 dan 2022,” kata Sekretaris Tetap untuk Layanan Keuangan dan Perbendaharaan Hong Kong, Salina Yan dalam sebuah seminar pada Rabu (31/10).

Maket PLTG Black Point (Katadata)

Otoritas Hong King telah memperluas cakupan skema hibah keuangan hijau yang mencakup obligasi hingga insentif kepada industri. Dia mengatakan, sejak 2018 hingga Oktober 2024, pihaknya telah memberikan 280 juta dolar Hong Kong atau setara hampir Rp 570 miliar kepada 470 penerima instrumen pajak hijau.

Mereka juga telah menerbitkan edisi perdana taksonomi hijau untuk keuangan berkelanjutan pada Mei 2024. Taksonomi yang dirancang menyelaraskan Cina dan Uni Eropa serta mencakip 12 aktivitas ekonomi.

“Empat sektor (fokus) yaitu pembangkit listrik, transportasi, konstruksi, serta pengelolaan air dan limbah,” katanya.

Otoritas Hong Kong terus berupaya mencari skema pendanaan yang paling pas untuk investasi hijau dan berkelanjutan. Salah satu yang disiapkan adalah menarik dana dari family office.

Mereka bahkan menyiapkan sejumlah hal untuk menarik pendanaan dari family office. Beberapa di antaranya sistem perpajakan, pendefinisian family office, hingga insentif.

"Kami sedang berkonsultasi dengan industri," kata Salina. 

Selain family office, Hong Kong juga mengincar pembiayaan berkelanjutan dari filantropi. Ini karena di wilayah tersebut ada 10 ribu yayasan yang beroperasi. "Karena bukan saja motif sosial, tapi ada keuntungan (finansial)," katanya.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution