Disebut Solusi Palsu, Biaya Penangkapan Karbon Lebih Mahal dari Pembangkit EBT

ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/aww/Spt.
Pekerja memeriksa lokasi penerapan teknologi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) di Pertamina EP Sukowati Field, Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (7/12/2023).
13/11/2024, 15.27 WIB

Center of Economic and Law Studies (Celios) menyatakan teknologi penangkapan karbon, yang tengah digencarkan pemerintah Indonesia, merupakan solusi palsu dalam transisi energi. Pengembangan teknologi  Carbon Capture Storage (CCS) bahkan lebih mahal dibandingkan membangun pembangkit energi baru terbarukan. 

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan teknologi CCS merupakan solusi palsu karena hanya akan membuat perusahaan untuk tetap menggunakan energi fosil.  Padahal seharusnya pemerintah mendorong industri untuk menggunakan energi bersih.

Selain itu, investasi yang dikeluarkan untuk pembangunan CCS/CCUS jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan investasi di EBT, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia. Berdasarkan hasil perhitungan Celios, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan CCUS akan membutuhkan investasi lebih dari Rp 30,2 juta per kilowatt hour (KWh) pada 2020 dan lebih dari Rp 22 juta /KWh pada 2050.

Nilai investasi tersebut jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan investasi energi terbarukan seperti PLTS skala utilitas maupun industri yang hanya membutuhkan Rp 6 juta/KWh pada tahun 2050.

"Bukti CCUS secara keekonomian tidak layak," ujarnya dalam diskusi publik, di Jakarta, Rabu (13/11).

Rawan Bocor

Selain itu, dia mengatakan, penggunaan CCS/CCUS juga dapat membahayakan masyarakat akibat potensi kebocoran pipa. Bhima mencontohkan kebocoran pipa gas CCS di Amerika setidaknya menyebabkan 40 orang dilarikan ke rumah sakit.

Posisi Indonesia yang terletak di cincin api dunia atau ring of fire juga memperbesar risiko kebocoran gas karena rawan gempa. "Jadi kalau karbonnya ditaruh di bawah sini, ekstra mahal untuk menjaga biar dia nggak bocor, ini siapa yang menanggungnya," ucapnya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebelumnya, Arifin Tasrif, juga pernah menyatakan bahwa teknologi CCS mahal.

"Rencana implementasi CCS/CCUS sekarang masih mahal, tapi memang harus kita coba. sesuatu kalau baru dicoba kan memang mahal," ujar Arifin dalam keterangan, Selasa (6/8).

Arifin mencontohkan salah satu proyek yang berjalan yaitu di Pemurnian Gas Alam, Gundih Jawa Timur, membutuhkan biaya US$ 43-53 per ton CO2, dengan total 0,3 juta ton CO2 per tahun dan investasi injeksi US$ 105 juta. Contoh lainnya yaitu produksi LNG Bintuni, Papua Barat sebesar US$ 33 per ton CO2 dengan total 2,5-3,3 juta ton CO2 per tahun dan investasi injeksi sebesar US$ 948 juta.

Kemudian Produksi LNG di Masela, NTT, US$ 26 per ton CO2 dengan total 3,5 juta ton CO2 per tahun dan investasi injeksi sebesar US$ 1,4 miliar. Terakhir, Gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME), Tanjung Enim Sumatera Selatan, sebesar US$ 50-55 per ton CO2 dengan total 3 juta ton CO2 per tahun dan investasi injeksi mencapai US$ 1,6 miliar.

Meski begitu, Arifin memastikan bahwa pemerintah tetap memiliki komitmen besar untuk mengimplementasikan teknologi CCS/CCUS. Teknologi ini diharapkan dapat memainkan peran kunci dalam menekan jejak karbon negara yang dikenal sebagai salah satu penghasil emisi terbesar di dunia.




Reporter: Djati Waluyo