Produksi Avtur Hijau di Asia Diprediksi Melonjak, tapi Permintaan Masih Minim

Dok. Pertamina
Produk Sustainable Aviation Fuel (SAF) yang dikembangkan oleh PT Kilang Pertamina Internasional di Kilang Cilacap.
17/3/2025, 20.27 WIB

Para eksekutif dan analis minyak menyatakan kemampuan Asia untuk memasok bahan bakar penerbangan berkelanjutan diprediksi melampaui permintaan regional tahun ini. Sementara tahun depan, pasokan bahan bakar penerbangan berklanjutan atau avtur hijau diprediksi lebih banyak produksi mulai beroperasi, sehingga bisa meningkatkan ekspor dan berpotensi menurunkan harga bahan bakar.

Namun demikian, sumber industri mengatakan produksi sustainable aviation fuel (SAF) yang direncanakan dapat terpukul jika permintaan regional tetap lesu dan harga turun di bawah biaya produksi. Padahal, peningkatan kapasitas Asia merupakan kabar baik bagi maskapai penerbangan yang mengeluh bahwa SAF terlalu mahal dan sulit diperoleh.

Peningkatan produksi bahan bakar penerbangan berkelanjutan dipengaruhi oleh lima proyek di Asia, di luar Cina, yang direncanakan akan mulai beroperasi tahun ini. Produksi SAF tersebut ditargetkan akan diekspor ke wilayah regional dan Eropa.  

 Konsultan penerbangan Endau Analytics, Shukor Yusof, mengatakan permintaan wajib di Asia masih rendah, dengan kewajiban penggunaan bahan bakar terbarukan di beberapa negara baru akan dimulai akhir dekade ini. Konsumsi yang rendah dan kurangnya kebijakan yang jelas menyebabkan beberapa proyek SAF di Ch+ina tertunda.  

 "Maskapai penerbangan Asia masih lebih fokus meningkatkan jumlah penerbangan, dan SAF bukan prioritas utama karena harganya masih lebih mahal dibanding bahan bakar jet biasa, sehingga maskapai akan memperoleh keuntungan yang lebih kecil," ujar Shukor dikutip Reuters, Senin (17/3).  

Sementara itu, berdasarkan perhitungan Argus Consulting menunjukan kapasitas produksi SAF di kawasan Asia-Pasifik diperkirakan akan mencapai 3,5 juta metrik ton per tahun atau setara 77.671 barel per hari pada akhir 2025.

Namun, penggunaan wajib SAF pertama di Asia baru akan dimulai pada 2026, ketika Singapura dan Thailand menerapkan mandat 1%. Persyaratan ini diperkirakan akan meningkatkan permintaan SAF dari kedua negara tersebut menjadi sekitar 14% dari kapasitas produksi pada 2026.

Meskipun kapasitas produksi meningkat, bukan berarti jumlah SAF yang diproduksi akan sebesar itu, karena industri masih mempertimbangkan profitabilitas dan permintaan aktual.  

"Permintaan di Asia diperkirakan akan tertinggal dari pasokan akibat tidak adanya kebijakan dan mandat yang seragam di seluruh wilayah," ujar Lamberto Gaggiotti, kepala bisnis energi hijau di perusahaan biofuel Apical.

Meski begitu, saat ini sudah ada beberapa maskapai penerbangan Asia secara sukarela menggunakan SAF untuk meningkatkan citra ramah lingkungan mereka di mata pelanggan dan sebagai bagian dari komitmen industri terhadap keberlanjutan.  

Asosiasi Maskapai Penerbangan Asia Pasifik, yang menaungi banyak maskapai nasional Asia, memiliki target penggunaan SAF sebesar 5% pada 2030. Namun, banyak maskapai Asia yang tidak mengungkapkan konsumsi SAF mereka.  

 Salah satunya adalah maskapai Cathay Pacific Airways dari Hong Kong mengatakan telah menggunakan lebih dari 6.800 ton SAF pada 2024, tetapi tidak memberikan proyeksi untuk 2025.   Lainya adalah Air New Zealand yang diperkirakan akan menggunakan 1,6% SAF dalam tahun keuangan yang berakhir pada Juni, naik dari 0,4% tahun sebelumnya. Namun, tahun lalu maskapai ini memangkas target penggunaan SAF pada 2030 dari 20% menjadi 10%, dengan alasan harga dan ketersediaan yang terbatas.  

Rencana Ekspor

 Perusahaan penyulingan Jepang, Cosmo Energy, akan mulai memproduksi SAF pada April. Investasi di Asia Tenggara tahun ini mencapai lebih dari US$ 500 juta, dengan PTT Global Chemical dari Thailand telah memulai operasional pabriknya dan Bangchak Petroleum akan menyusul pada kuartal kedua.  

"Saat pasar SAF berkembang, wajar jika akan ada kesenjangan antara lokasi produksi dan lokasi permintaan," ujar Hemant Mistry, Direktur Transisi Energi IATA.  

Perusahaan Taiwan, Formosa Petrochemical, berencana memproduksi hingga 6.000 ton SAF untuk maskapai lokal tahun ini, menurut juru bicaranya KY Lin, turun dari target sebelumnya sebesar 10.000 ton pada 2025.  

Biaya produksi SAF dari minyak goreng bekas diperkirakan mencapai U$500 hingga U$600 per ton, termasuk biaya pra-pemrosesan, kata Lin. Sebagai perbandingan, harga SAF di pasar spot Asia saat ini sekitar U$1.700 per ton, menurut sumber industri.  

 Kepala penetapan harga biofuel Asia di Argus, Lauren Moffitt mengatakan, dengan permintaan yang melambat kemungkinan akan tetap menjadi pengekspor SAF bersih hingga 2026, dengan kelebihan pasokan yang akan menekan harga.  

 "Selisih harga antara SAF dan bahan bakar jet konvensional telah menyempit dari hampir tiga kali lipat tahun lalu menjadi 2,4 kali lipat tahun ini berdasarkan harga free on board (FOB) Singapura," ujar Lauren. 

 Namun, Neste, yang memperkirakan permintaan global akan mencapai setidaknya 7 juta ton pada 2030, serta pendatang baru EcoCeres yang didukung Bain Capital, tetap optimistis terhadap prospek pertumbuhan.  

 CEO EcoCeres, Matti Lievonen mengatakan, perusahaan akan mulai mengoperasikan unit produksi SAF dan biodiesel dengan kapasitas 420.000 ton per tahun (tpy) di Johor, Malaysia, pada kuartal keempat, kata 

 Dengan tambahan ini, total kapasitas perusahaan akan mencapai 770.000 tpy, termasuk pabrik yang sudah ada di Jiangsu, China, dengan fokus pada ekspor.  

 "Produksi baru ini semakin memperkuat pasokan kami ke Eropa, tetapi kami juga mengeksplorasi peluang global seperti Jepang, Korea, Australia, China, dan Amerika Utara, yang semuanya memiliki potensi pertumbuhan yang besar," ujarnya.

Reporter: Djati Waluyo