Pemerintahan berbagai negara saat ini berlomba-lomba memberikan insentif kepada investasi dengan eksternalitas negatif yang rendah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Eksternalitas negatif dalah aktivitas ekonomi yang menyebabkan dampak negatif pada pihak ketiga saat tahap produksi, distribusi, atau konsumsi dari suatu produk.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Hidayat Amir mengatakan kebijakan pemerintah akan terus responsif dengan berbagai inovasi yang ada termasuk dalam investasi. "Namun memang proses perubahan memerlukan transisi," ujar Hidayat dalam Bicara Data 'Peluang Mendorong Investasi Saat Pandemi' yang diselenggarakan Katadata.co.id, Senin (9/11).
Ia menjelaskan, eksternalitas negatif menjadi salah satu komponen yang dipertimbangkan pemerintah dalam mengambil kebijakan. Pemerintah hingga kini masih merespons mayoritas isu ekternalitas negatif menggunakan instrumen cukai.
Meski demikian, ada beberapa insetif pemerintah yang mendukung isu tersebut. Salah satunya, insentif mobil listrik. "Kami akan terus dorong seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi," kata dia.
Namun, Hidayat berpendapat bahwa insentif sebenarnya hanya merupakan pemanis dan bersifat temporer. Hal yang paling mendasar dalam memperbaiki investasi adalah reformasi struktural.
Insentif juga tak melulu harus menggunakan instrumen fiskal yang terdapat dalam APBN. Insentif seperti kemudahan perizinan di berbagai kementerian atau sektoral justru yang paling penting dalam reformasi investasi.
Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat realisasi investasi pada kuartal ketiga 2020 mencapai Rp 209,0 triliun atau naik 8,9% dibandingkan kuartal sebelumnya seperti terlihat dalam Databoks di bawah ini.
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center Bawono Kristiaji menyampaikan bahawa insentif untuk investasi dengan eksternalitas negatif rendah memang perlu didorong. "Karena tren ke depan memang lebih kepada ekonomi hijau," ujar Bawono dalam kesempatan yang sama.
Ia menyarankan agar pemerintah bisa memberi insentif investasi secara sektoral, bukan tergantung perusahaannya. Alasannya, supaya output investasi bisa lebih terukur.
Bawono menyarankan agar insentif bisa diberikan kepada investasi pada sektor yang mendorong inovasi dan memberi dampak multipplier effect. Dengan begitu, insentif yang diberikan tidak hanya berfokus pada upaya bertahan di tengah tekanan ekonomi, tetapi juga bagaimana meningkatkan daya saing dan pembangunan berkelanjutan.
Menurut dia, kebijakan insentif seperti itu saat ini sedang menjadi tren global. Tren perubahan skema fasilitas perpajakan guna mendukung fase initial recovery sudah banyak diterapkan oleh berbagai yurisdiksi pada semester kedua 2020. Ini seiring usainya tren instrumen fiskal untuk menjaga likuiditas perusahaan di tengah pandemi.
Ia pun menilai terdapat potensi kompetisi pajak di berbagai negara untuk menarik investasi, seperti yang terjadi usai krisis finansial pada 2008 silam.
Hingga saat ini, pemeirntah sudah memberi berbagai insentif fiskal untuk meningkatkan iklim investasi. Per 11 Oktober 2020, tax holiday sudah diberikan kepada 85 penanman modal dan 82 wajib pajak dengan rencana investasi Rp 1.261,2 triliun. Penyerapan tenaga kerja 107.357 orang sejak tahun 2008. Adapun investasi yang telah terealisasi sebesar Rp 27,15 triliun.
Adapun insentif dalam bentuk tax allowance telah diberikan kepada 186 penanaman modal dan 161 wajib pajak dengan rencana investasi Rp 305,9 triliun. Investasi yang telah terealisasi yakni Rp 27,15 triliun per 11 Oktober 2020.
Sementara insentif super deduction tax untuk kegiatan vokasi sudah diberikan kepada 16 wajib pajak dengan 107 eprjanjian kerja sama dan 10.644 peserta magang dan praktik kerja atau pembelajaran.