Uni Eropa sepakat tidak akan memakai dana transisi hijaunya untuk proyek gas alam. Bahan bakar ini memang mengeluarkan karbondioksida 50% lebih sedikit di pembangkit listrik ketimbang batu bara. Tapi emisinya, berupa metana, menghasilkan gas rumah kaca yang kuat di atmosfer bumi.
Melansir dari Reuters, utusan dari 27 negara Uni Eropa mendukung kesepakatan itu kemarin, Rabu (16/12). Mereka setuju untuk tidak mendukung investasi apapun terkait bahan bakar fosil. Dana ini juga tidak boleh untuk membiayai investasi energi nuklir.
Anggota parlemen Jerman Niklas Nienass mengatakan mendukung kompromi ini. “Untuk meminimalkan pendanaan bahan bakar fosil,” ujarnya.
Dana transisi energi atau disebut Just Transition Fund Uni Eropa ini nilainya mencapai 17,5 miliar euro atau sekitar Rp 302 triliun. Programnya merupakan bagian dari dana pemulihan pandemi Covid-19 dan anggaran kelompok ini untuk 2021 hingga 2027.
Dengan dana itu, harapannya akan lebih banyak investasi dari sektor swasta ke bisnis hijau. “Kami tidak dapat menerapkan kesepakatan hijau tanpa mengurangi konsekuensi bagi mereka yang terkena dampak dekarbonisasi,” kata Menteri Ekonomi Jerman Peter Altmaier.
Uni Eropa sebelumnya sepakat untuk menghilangkan emisi karbonnya pada 2050. Pada 2030, pemangkasannya akan mencapai 40% hingga 55%. Hal ini sejalan dengan upaya untuk mencegah pemanasan global dan perubahan iklim.
Sekelompok peneliti Inggris mengemukakan pemanasan global telah menyebabkan bumi kehilangan 28 triliu ton es pada 1994 hingga 2017. Penurunan terbesar terjadi pada es laut Arktik. Selama 23 tahun, setidaknya 7,6 triliun ton es mencair. Belting es Antartika juga mencair hingga 6,5 triliun ton.
Laporan Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) berjudul World Disasters Report 2020 menyebut 50 juta orang telah terdampak bencana alam karena perubahan iklim. Frekuensi intensitas cuaca ekstrim terus naik sejak 1960an.
Pada 2019, dunia menghadapi 308 bencana alam, angkanya melonjak 35% sejak 1990an. Sebanyak 77% dari bencana itu terkait iklim atau cuaca yang menewaskan sekitar 24,4 ribu orang. Mayoritas korban berasal dari negara miskin yang terkena gelombang panas dan badai mematikan.
Jepang Perkirakan Pasar Green Bond-nya Akan Naik
Jepang juga sedang berusaha memangkas emisi karbonnya. Pasar obligasi hijau atau green bond-nya diperkirakan akan terus tumbuh tahun depan. Hal ini sejalan dengan janji Perdana Menteri Yoshihide Suga untuk menjadikan negaranya netral karbon pada 2050.
Anggota panel kebijakan pemerintah Mana Nakazora mengatakan nilai surat utang berbasis lingkungannya pada tahun lalu mencapai 824 miliar yen atau sekitar Rp 112,7 triliun. Angkanya naik 24 kali lipat daripada lima tahun sebelumnya.
Pasar obligasi hijau dan aset berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) diperkirakan akan mencapai 20% pasar obligasi korporasi Jepang yang mencapai 60 triliun yen. “Semakin banyak investor yang menaruh uangnya di aset ESG. Banyak pula perusahaan yang merasa perlu menerbitkan green bond,” kata Nakazora.
Namun, menurut dia, pemerintah harus menetapkan jadwal lebih jelas tentang cara mencapai target netral karbon tersebut. Tujuannya, agar sektor swasta dapat melakukan transisi lebih mulus menuju energi hijau.
Bank sentral Jepang juga dapat mempromosikan keuangan hijaunya dan menetapkan pedoman ESG untuk manajemen aset. “Bank-bank sentral dunia mulai berubah dengan mengelola aset di bawah pedoman ESG,” ujarnya. Sudah waktunya pemerintah Jepang dan regulator keuangan untuk mengikutinya.