Indeks Stimulus Hijau Indonesia Dinilai Merosot Pasca UU Cipta Kerja

ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/foc.
Sejumlah mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sylva Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura menggelar aksi di Bundaran Digulis, Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu (14/11/2020). Dalam aksi tersebut mereka menolak UU Cipta Kerja karena lebih menguntungkan investor dan tidak berpihak pada upaya pelestarian alam dan lingkungan hidup.
15/2/2021, 11.39 WIB

Sebagian besar negara G20 dinilai telah gagal memanfaatkan peluang untuk menggabungkan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan berkelanjutan. Greenness of Stimulus Index (GSI) alias Indeks Stimulus Hijau dalam laporan terbarunya bahkan memberi angka negatif untuk Indonesia.

Dalam laporan berkala edisi ke-5 itu menyebut penurunan skor tersebut terjadi karena kemunculan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja. “Aturan ini banyak dikritik karena berpotensi berdampak negatif terhadap alam dan iklim,” tulis laporan itu pada Jumat, (12/2). 

Sebagai informasi, laporan ini dibuat oleh Vivid Economics dan Finance for Biodiversity (F4B) Initiative yang menilai stimulus Covid-19 pada negara-negara G20 dan ekonomi utama lainnya. Penilaiannya terutama terkait aksi iklim dan dukungan terhadap keanekaragaman hayati.

Analisis tersebut juga menunjukkan pengesahan UU Cipta Kerja alias omnibus law telah menambah panjang daftar undang-undang sebelumnya yang menderegulasi industri pertambangan dan mensubsidi perusahaan migas serta perusahaan listrik dan maskapai penerbangan milik negara.

Laporan Vivid Economics pada edisi Mei 2020 menyoroti Indonesia yang mengesahkan UU Mineral dan Batu Bara (Minerba). Kebijakan ini dianggap berisiko merusak komitmen sebelumnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, melestarikan alam, dan memperkuat modal alam.

Skor negatif Indonesia ada pada kebijakan yang menderegulasi standar perlindungan lingkungan (industri), bantuan pemerintah tanpa ketentuan hijau (energi, industri, transportasi), dan subsidi atau pemotongan pajak untuk produk yang berbahaya bagi lingkungan (energi dan industri).

Sedangkan untuk penilaian positif, Indonesia disebut telah memberi subsidi bagi penggunaan biodiesel, mengurangi pajak pertambahan nilai dan penghasilan bagi proyek energi terbarukan, serta menghapus sanksi finansial bagi produsen listrik independen untuk memacu produksi energi terbarukan.

Ekonom sekaligus penulis laporan ini, Jeffrey Beyer, mengatakan masih dibutuhkan lebih banyak tindakan untuk melihat pemulihan pasca Covid-19 yang benar-benar hijau. 

Namun akan terjadi perubahan dramatis, terutama setelah pemerintah baru Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Joe Biden mendorong agenda iklim masuk dalam program pemulihan ekonomi.“Kebijakan baik harus disertai dengan investasi publik untuk mendorong pemulihan hijau yang kaya lapangan kerja,” kata Beyer.

Dalam laporan McKinsey & Company, Jerman merupakan negara yang menggelontorkan stimulus ekonomi terbesar akibat pandemi Covid-19. Negara tersebut mengalokasikan 33% dari produk domestik bruto (PDB). Angka itu hampir 10 kali lipat dibanding saat krisis finansial 2008 yang kala itu mengalokasikan 3,5% PDB.

Jepang berada di posisi kedua dengan kucuran stimulus ekonomi mencapai 21% PDB guna menanggulangi pandemi Covid-19. Padahal saat krisis finansial 2008, negara ini merogoh 2,2% PDB untuk mempertahankan perekonomiannya.

Sri Mulyani Terpilih Sebagai Co-Chair untuk Perubahan Iklim

Menteri KeuanganSri Mulyani Indrawati terpilih sebagai Co-Chair Koalisi Menteri Keuangan Dunia untuk perubahan iklim (The Coalition of Finance Ministers for Climate Action) periode 2021-2023. Posisi ini menggantikan Menteri Keuangan Chile.

Pemilihannya dilakukan melalui pemungutan suara yang diikuti oleh para menteri keuangan dari 52 negara anggota koalisi.  “Indonesia dipercaya mengarahkan dan menangani masalah perubahan iklim. Hal ini tidak lepas dari aksi nyata mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilaksanakan oleh pemerintah,” katanya pada Kamis lalu.

Sri Mulyani menuturkan pemerintah berkomitmen dalam upaya pengendalian perubahan iklim melalui berbagai kebijakan. Dalam anggaran pendatapan dan belanja negara (APBN) terdapat dana untuk perubahan iklim atau budget tagging serta pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). 

Badan itu bertanggung jawab mengelola dana terkait kehutanan, energi, sumber daya mineral, dan perdagangan karbon. Kemudian ada pula pembentukan pooling fund bencana (PFB) sebagai bagian dari strategi pendanaan dan asuransi risiko bencana atau disaster risk financing and insurance (DRFI), dan aktivasi instrumen pembiayaan inovatif seperti Green Sukuk.

Target pengurangan emisi Indonesia, sesuai nationally determined contribution (NDC) adalah 29% dengan upaya sendiri atau 41% dengan dukungan internasional pada 2030.

Reporter: Verda Nano Setiawan