Pemerintah Indonesia terus berupaya menarik investasi ke dalam negeri. Salah satunya dengan menawarkan insentif pajak yang disesuaikan bagi perusahaan, serta mekanisme perdagangan karbon melalui offset karbon.
Deputi Perencanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau Kementerian Investasi Nurul Ichwan mengatakan pemerintah telah memangkas sejumlah aturan yang menghambat investasi. Salah satunya dengan penyederhanaan regulasi maupun birokrasi melalui Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Dengan begitu pemerintah dapat menyesuaikan manfaat bagi perusahaan yang ingin berbisnis di Indonesia, asalkan mereka menanamkan investasi jumbo dan berdampak signifikan bagi pengembangan industri lokal.
"Vietnam dan Singapura memiliki program yang sama, namun Indonesia menawarkan sumber daya alam yang melimpah, pasar yang besar, serta kinerja perekonomian yang kuat," ujarnya dikutip dari Bloomberg, Jumat (30/4).
Persaingan untuk memperebutkan investasi di kawasan ini memang cukup ketat. Vietnam, Thailand, dan Filipina, misalnya, berupaya menarik investasi dengan memberikan beragam insentif termasuk pemotongan tarif pajak perusahaan.
Berdasarkan data BKPM/Kementerian Investasi, realisasi investasi di Indonesia pada kuartal I tahun ini didominasi oleh penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI). Simak databoks berikut ini:
Sama halnya dengan Indonesia yang menekankan investasi untuk mendorong pertumbuhan karena konsumsi masyarakat yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi selama ini, tumbuh melambat imbas pandemi Covid-19.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga terus mendorong perombakan regulasi ketenagakerjaan dan investasi melalui Omnibus Law Cipta Kerja dalam upaya untuk menarik investor ke Indonesia. Pada Rabu (28/4), Jokowi menunjuk Kepala BKPM Bahlil Lahadalia untuk memimpin Kementerian Investasi yang baru saja dibentuk.
Di samping itu, Indonesia juga mempertimbangkan untuk menawarkan sistem perdagangan karbon dengan mekanisme offset karbon, yang memungkinkan investor mengimbangi tingkat emisi yang dihasilkannya.
Kementerian investasi sedang memetakan potensi lahan gambut, yang dapat menyimpan karbon dalam jumlah besar, dan danau buatan di bekas wilayah pertambangan yang dapat menampung panel surya terapung.
Langkah tersebut ditujukan untuk perusahaan baterai dan kendaraan listrik yang ingin berinvestasi dalam rantai pasok nikel Indonesia, namun tak ingin menggunakan sumber energi batu bara dalam proses produksinya.
Pemerintah juga telah merayu investor global seperti produsen baterai asal Tiongkok, CATL, LG Chem Ltd. dan Tesla Inc. untuk turut berinvestasi di Indonesia. "Ke depan, besarnya nikel yang kami miliki tidak akan bisa menarik investasi jika kami tidak merancang produksi yang ramah lingkungan,” kata Ichwan.
Seiring meningkatnya permintaan global untuk baterai dan elektronik lainnya, maka investasi harus lebih banyak mengalir ke wilayah bagian timur Indonesia. Setidaknya wilayah tersebut saat ini menjadi rumah bagi 30 proyek peleburan nikel, besi dan bauksit.
Hal tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut sebesar 4,2 - 6,1%, melampaui proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional 4,5 - 5,3% pada tahun ini, kemudian berakselerasi tumbuh 7,9% pada 2024.
Ichwan menilai daerah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, memiliki daya tarik investasi yang besar berkat harga tanahnya yang masih murah dan kaya dengan sumber daya alam mineral. Pemerintah pun terus membangun infrastruktur di daerah tersebut serta mengembangkan tenaga kerja yang lebih terampil.
Hal tersebut menjadi kunci pemerintah untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara kawasan Indonesia barat dan timur. “Secara bertahap kami bisa memperkecil kesenjangan antara Indonesia bagian barat dan timur,” ujarnya.