Masa Depan Suram Sektor Migas dan Batu Bara demi Target Iklim 2050

123RF.com/_fla
Ilustrasi migas, offshore
Penulis: Happy Fajrian
19/5/2021, 12.52 WIB

Investor diminta untuk menghentikan pembiayaan untuk proyek energi fosil, yakni minyak, gas, dan batu bara, demi mencapai target iklim emisi nol bersih (net zero emission) pada pertengahan abad ini atau 2050. Sebaliknya investor harus meningkatkan fokusnya pada pengembangan energi baru terbarukan (EBT).

Badan Energi Internasional (IEA) melaporkan bahwa jumlah negara yang berjanji untuk mencapai emisi nol bersih terus bertambah. Namun meskipun negara-negara tersebut berhasil mencapai targetnya pada 2050, masih ada sekitar 22 milar ton emisi karbon dioksida yang beredar di seluruh dunia.

Menurut laporan IEA bertajuk “Net Zero by 2050” emisi gas rumah kaca tersebut akan menyebabkan kenaikan temperatur global sekitar 2,1° celsius pada 2100. Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim berupaya membatasi kenaikan temperatur global maksimal 1,5° C untuk menghindari dampak perubahan iklim yang merusak.

Ini membutuhkan emisi nol bersih gas rumah kaca pada pada 2050. “Jalan menuju nol bersih sempit, tapi masih bisa dicapai. Jika kita ingin mencapai target itu pada 2050, kita tidak membutuhkan investasi lagi pada proyek migas dan batu bara baru,” kata Direktur Eksekutif IEA, Fatih Birol, seperti dikutip Reuters, Rabu (19/5).

Dalam laporan tersebut IEA mengatakan bahwa untuk mencapai target emisi nol bersih akan membutuhkan transformasi yang belum pernah terjadi sebelumnya tentang bagaimana energi diproduksi, diangkut, dan digunakan secara global.

Dengan banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan, laporan tersebut juga mengatakan bahwa komitmen dunia saat ini masih jauh dari yang dibutuhkan untuk mencapai target emisi nol bersih global pada 2050.

Menurut roadmap IEA “Net Zero by 2050”, ada lebih dari 400 tonggak yang harus dicapai jika tujuan 2050 ingin tercapai. Selain menghentikan investasi atau pembiayaan energi fosil, dunia juga harus menghentikan penjualan boiler bahan bakar fosil pada 2025, dan kendaraan bermesin BBM pada 2035.

Di bawah skenario IEA, pembangkit listrik tenaga surya dan angin akan menjadi sumber utama listrik di dunia sebelum akhir 2030. Dua pembangkit energi terbarukan ini akan hampir 70% pembangkit listrik pada 2050.

“Tenaga surya akan menjadi satu-satunya sumber pasokan energi terbesar di dunia pada pertengahan abad ini. Sebaliknya bahan bakar fosil akan mengalami penurunan dari sekitar empatperlima dari total pasokan energi saat ini menjadi hanya seperlima saja,” tulis laporan IEA.

Simak tambahan kapasitas energi terbarukan global pada databoks berikut:

Sementara itu pembangkit listrik energi baru terbarukan akan menciptakan sekitar 14 juta pekerjaan hingga 2030, sementara pekerjaan di sektor migas dan batu bara akan terhapus sekitar 5 juta.

“Peta jalan kami menunjukkan tindakan prioritas yang harus dilakukan saat ini untuk memastikan peluang emisi nol bersih 2050 sempit, tapi masih bisa dicapai dan tidak hilang,” kata Birol.

Namun realitas di lapangan menunjukkan betapa menantang peta jalan IEA. Pasalnya perusahaan energi masih menemukan ladang minyak baru. Sedangkan di negara-negara industri seperti Amerika Serikat (AS), bahan bakar fosil masih memainkan peran penting dalam produksi listrik.

Menurut angka awal dari Administrasi Informasi Energi AS, pangsa gas alam dan batu bara dari pembangkit listrik pada 2020 masing-masing sebesar 40,3% dan 19,3%. Oleh karena itu IEA menyerukan kepada dunia untuk meningkatkan instalasi pembangkit listrik energi terbarukan selama beberapa tahun ke depan.

Adapun saat ini negara-negara Skandinavia memimpin dalam aspek transisi energi dari bahan bakar fosil menuju ke sumber energi terbarukan. Simak databoks berikut:

Lembaga yang berbasis di Paris, Perancis ini memperkirakan penambahan tahunan listrik tenaga surya akan mencapai 1.020 gigawatt pada 2030. Namun upaya ini membutuhkan dukungan finansial dan kebijakan dari pemerintah yang sangat signifikan.

“Laporan ini adalah sirine bagi pemerintah di seluruh dunia bahwa mereka tidak lagi bisa menunda dan harus serius menggunakan energi terbarukan,” kata Kepala Kebijakan dan Proyek di Global Wind Energy Council, sebuah badan industri yang berbasis di Brussel, Belgia.