Sejumlah negara Asia menolak seruan Badan Energi Internasional (IEA) untuk menyetop investasi pada proyek bahan bakar fosil baru. Utamanya investasi di sektor minyak dan gas bumi, serta batu bara, untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2050.
Wakil Direktur Urusan Internasional Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang, Akihisa Matsuda mengatakan negaranya tidak memiliki rencana untuk segera menghentikan investasi pada proyek minyak, gas bumi, dan batu bara.
Dia menilai laporan tersebut hanya memberikan saran tentang bagaimana dunia dapat menekan emisi gas rumah kaca menjadi nol bersih pada tahun 2050. Namun strategi tersebut belum tentu sejalan dengan kebijakan yang akan diterapkan oleh pemerintah Jepang.
"Jepang perlu melindungi keamanan energinya termasuk pasokan listrik yang stabil, jadi kami akan menyeimbangkannya dengan tujuan kami menjadi netral karbon pada 2050," kata dia mengutip Reuters, Kamis (20/5).
Menurut laporan BP Statistical Review, Jepang merupakan penghasil emisi karbon terbesar ketiga di kawasan Asia pada 2019, setelah Tiongkok dan India.
Sementara itu asosiasi industri migas dan pertambangan Australia menyatakan tidak ada satu ukuran yang pas untuk dekarbonisasi. Laporan IEA juga tidak memperhitungkan teknologi pengurangan emisi di masa depan dan penggantian kerugian dari luar sektor energi.
"Dua hal yang mungkin terjadi dan akan memungkinkan pengembangan ladang minyak dan gas bumi yang vital di masa depan," ujar Ketua Eksekutif Asosiasi Andrew McConville.
Produsen gas independen terkemuka Australia, Woodside Petroleum, mengatakan pihaknya masih merencanakan investasi sebesar US$ 11 miliar atau sekitar Rp 158 triliun (US$ 1=Rp 14.390) untuk mengembangkan ladang gas baru di lepas pantai Australia Barat pada akhir tahun ini.
"Kami bekerja sama dengan pelanggan kami yang semuanya berada di negara-negara yang telah berkomitmen untuk nol bersih, untuk memastikan pasokan energi yang mereka butuhkan untuk mencapai jalur dekarbonisasi mereka," kata seorang juru bicara Woodside.
Sementara pemerintah Australia pada Rabu (19/5) menyatakan komitmennya untuk menggelontorkan dana sebesar AUS$ 600 juta atau sekitar US$ 467 juta (Rp 6,7 triliun) untuk membangun pembangkit listrik gas baru guna mendukung tenaga angin dan surya.
Sementara di Filipina, batu bara telah menjadi sumber tenaga dominan selama bertahun-tahun di negara ini. Bahkan setelah larangan pembangunan pembangkit batu bara baru. Sekretaris Energi Alfonso Cusi mengatakan transisi energi harus netral bahan bakar dan teknologi.
Menurut dia penghentian investasi pada sektor migas dan batu bara tanpa mempertimbangkan efisiensi dan daya saing akan menjadi kemunduran buat Filipina. "Terutama untuk masuk dalam jajaran negara berpenghasilan menengah ke atas," katanya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai permintaan batu bara masih akan tinggi selama beberapa dekade ke depan, meskipun di tengah transisi menuju energi baru terbarukan. "Beberapa negara masih membangun pembangkit listrik batu bara baru," ujarnya.
Sebelumnya, IEA meminta agar investor menghentikan pembiayaan untuk proyek energi fosil demi mencapai target net zero emission pada pertengahan abad ini. Sebaliknya investor harus meningkatkan fokusnya pada pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
IEA melaporkan bahwa jumlah negara yang berjanji untuk mencapai emisi nol bersih terus bertambah. Namun meskipun negara-negara tersebut berhasil mencapai targetnya pada 2050, masih ada sekitar 22 miliar ton emisi karbon dioksida yang beredar di seluruh dunia.
Menurut laporan IEA bertajuk “Net Zero by 2050” emisi gas rumah kaca tersebut akan menyebabkan kenaikan temperatur global sekitar 2,1° celcius pada 2100. Perjanjian Paris 2015 berupaya membatasi kenaikan temperatur global maksimal 1,5° C untuk menghindari dampak perubahan iklim yang merusak.
Ini membutuhkan emisi nol bersih gas rumah kaca pada pada 2050. “Jalan menuju nol bersih sempit, tapi masih bisa dicapai. Jika kita ingin mencapai target itu pada 2050, kita tidak membutuhkan investasi lagi pada proyek migas dan batu bara baru,” kata Direktur Eksekutif IEA, Fatih Birol, seperti dikutip Reuters, Rabu (19/5).