Lembaga peneliti dan konsultan energi Wood Mackenzie menilai transisi energi global akan membuat nasib industri dan bisnis migas (minyak dan gas) global yang bernilai sekitar US$ 14 triliun atau lebih dari Rp 200.000 triliun menjadi tidak jelas. Padahal permintaan energi mulai pulih setelah terpukul pandemi Covid-19.
Menurut WoodMac permintaan energi akan melampaui rekor 160 juta barel setara minyak per hari (boepd) yang dicapai pada 2019. Terlebih dengan harga minyak yang pulih ke US$ 60 per barel, sektor ini akan menikmati arus kas yang setara ketika harga minyak mencapai US$ 100 per barel sebelum 2014.
"Setelah harga terus merosot selama enam tahun terakhir, sektor hulu saat ini menjadi lebih bugar dan lebih ramping dari sebelumnya," kata WoodMac, mengutip Reuters, Kamis (20/5).
Industri migas telah menikmati tumbuhnya permintaan selama satu abad terakhir. Namun seiring dengan transisi energi, permintaan dan harga minyak di masa depan menjadi sangat tidak pasti. "Berbagai kemungkinan efek dari transisi energi sangat memusingkan," kata Wakil Presiden WoodMac, Fraser McKay.
WoodMac mengatakan transisi energi secara bertahap akan membuat permintaan minyak bertahan di atas 90 juta barel per hari hingga 2050. Kondisi ini akan mendorong investasi demi menjaga pasokan dan harga minyak yang akan mencapai US$ 80 per barel pada 2030.
Namun, jika dunia memutuskan untuk membatasi pemanasan global hingga 2° celcius pada 2050, maka permintaan minyak akan mencapai puncaknya sebelum 2025 dan turun menuju 35 juta barel per hari pada 2050 atau 70% di bawah level puncak. Harga minyak jenis Brent akan berkisar US$ 40 per barel pada 2030 dan akan terus turun.
Dalam kedua skenario tersebut, permintaan dan harga gas akan tetap kuat, didukung oleh peralihan dari batu bara di Asia. Hal ini pun akan menarik lebih banyak investasi untuk produksi gas daripada minyak.
Skenario pertama akan menjaga harga gas alam cair atau LNG pada level US$ 8-9 per MMBTU hingga 2040 dan seterusnya. Sementara di skenario kedua, harga LNG tetap kuat pada US$ 7-8 per MMBTU, lalu akan mulai turun pada 2040.
Meskipun ada peringatan keras dari Badan Energi Internasional (IEA) untuk menghentikan investasi untuk proyek migas dan batu bara demi mencapai target iklim 2050, namun McKay mengatakan "dunia masih akan membutuhkan pasokan minyak dan gas bumi selama beberapa dekade ke depan dan skala industrinya akan tetap besar."