Investasinya Mahal, Teknologi CCUS untuk PLTU akan jadi Beban PLN

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Foto udara cerobong di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin di Desa Sijantang, Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, Kamis (17/10/2019).
2/8/2021, 14.47 WIB

Penerapan teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS) atau penangkapan dan pemanfaatan karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) akan menjadi salah satu opsi yang dipersiapkan PLN untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) atau gas rumah kaca.

Dengan teknologi tersebut, maka pemanfaatan PLTU pun dinilai akan dapat dilanjutkan. Namun Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan penerapan teknologi ini masih belum cukup ekonomis, apalagi jika diterapkan pada sektor pembangkit.

Menurut dia, untuk membangun teknologi CCUS, setidaknya membutuhkan investasi jumbo. Seperti Kanada yang menginvestasikan sekitar US$ 1,5 triliun atau ebih dari Rp 21.000 triliun untuk mengadopsi teknologi ini.

"Mereka punya proyek CCUS, mereka butuh US$ 1,5 triliun. Tetapi mereka optimalisasikan CO2 yang ditangkap satu juta ton per tahun," ujar Mamit dalam diskusi secara virtual Energy Corner CNBC Indonesia, Senin (2/8).

Oleh karena itu, dengan biaya yang sangat besar tersebut, teknologi CCUS untuk saat ini menjadi kurang tepat untuk diterapkan, kecuali ada teknologi baru yang dapat dikembangkan lebih jauh.

Rencana PLN untuk tidak mempensiunkan PLTU sebagian akan membuat Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik turut membengkak. "Saya kira rencana PLN untuk tidak mempensiunkan PLTU sendiri akan menjadi beban dan bisa membebani masyarakat," katanya.

Direktur Perencanaan Korporat PT PLN Evy Haryadi sebelumnya mengakui tantangan pengembangan teknologi CCUS hingga kini masih berkutat pada keekonomian. Namun ia berharap dalam 15 tahun ke depan teknologi ini sudah lebih ekonomis.

Sehingga jika teknologi ini dapat diaplikasikan ke pembangkit batu bara, maka ia memproyeksi PLTU yang perlu dipensiunkan hanya sebesar 1 gigawatt (GW). Atau PLTU yang masuk dalam rencana pensiun tahap awal, yakni PLTU Subcritical Tahap Pertama pada 2030.

"Jika ini dilakukan, kami hanya perlu mempensiunkan 1 GW dari pembangkit tua kami yang diperkirakan 2030 sudah bisa dipensiunkan," ujarnya dalam diskusi secara virtual pekan lalu.

Sebelumnya Direktur Utama PT PLN, Zulkifli Zaini juga mengatakan pihaknya telah menetapkan peta jalan dalam mengurangi penggunaan energi listrik berbasis fosil dari tahun 2025 hingga tahun 2060. Menurutnya ada dua skenario yang disiapkan.

Skenario pertama energi berbasis fosil akan mulai hilang dari bauran energi mulai 2056 mendatang. Ada 7 tahapan penghentian PLTU batu bara mulai dari yang menggunakan teknologi konvensional sampai yang paling mutakhir.

Sementara pada skenario kedua, pemanfaatan teknologi CCUS akan diterapkan mulai pada tahun 2035 sembari PLN akan tetap menurunkan porsi energi berbasis fosil dari bauran energi.

Lebih jauh soal model bisnis masa depan, PLN akan melakukan berbagai pekerjaan besar dari hulu ke hilir. “Di sisi hulu PLN akan melakukan eksekusi proyek EBT dalam skala besar,” kata dia.

Selanjutnya di sisi midstream sebagai operator atau owner dari jaringan transmisi dan distribusi termasuk energy storage atau baterai, PLN juga memberikan layanan solusi energi terintegrasi yang fleksibel untuk pelanggan skala besar atau industri. Di sisi hilir, PLN akan memberikan layanan solusi energi untuk semua pelanggan.

Selain itu akan diciptakan ekosistem pelayanan yang cerdas, fleksibel, dan inovatif hingga elektrifikasi sektor transportasi dengan ketersediaan infrastrukturnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan