Keputusan Tesla yang akhirnya lebih memilih untuk mengambil pasokan nikel dari Australia menjadi ganjalan tersendiri bagi Indonesia yang mengharapkan investasi dari produsen raksasa mobil listrik itu.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai masalah berkelanjutan lingkungan memang masih menjadi tantangan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemerintah harus mengakui, pengelolaan lingkungan berkelanjutan masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan.
Sebaliknya, Australia menjadi negara dengan indikator lingkungan yang relatif lebih baik. Bahkan, Negeri Kanguru itu menjadi salah satu negara yang sudah menjalankan pajak karbon, yang menunjukkan keseriusannya dalam memperhatikan sisi keberlanjutan.
"Saya kira, citra ini lah juga yang menjadi salah satu pertimbangan Tesla memilih Australia dibandingkan Indonesia," ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (8/2).
Apalagi, BHP selaku pemasok nikel untuk Tesla juga menjadi salah satu perusahaan yang juga fokus terhadap isu lingkungan dalam menjalankan berbagai usahanya. Dalam konteks tersebut, maka hal ini akan menguntungkan penjualan Tesla sendiri di Australia.
Mengingat jumlah penjualan mobil listrik di Australia juga relatif lebih banyak dibandingkan di Indonesia. Sehingga kerja sama dengan BHP juga bisa dijadikan sebagai sentimen marketing penjualan produk Tesla di Australia.
Sementara, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan ada beberapa faktor keputusan Tesla untuk memilih Australia sebagai tujuan investasi dibandingkan Indonesia. "Saya kira faktornya tidak tunggal. Ada beberapa faktor variabel yang kemungkinan menjadi pertimbangan Tesla," kata dia.
Pertama, iklim investasi dan kepastian usaha di Indonesia. Dalam hal ini indeks investasi sektor pertambangan Indonesia berdasarkan survei sejumlah lembaga misal Fraser Institute masih relatif rendah.
Kedua, kebijakan perpajakan yang mana sejauh ini sektor pertambangan masih menjadi salah satu basis utama untuk penerimaan negara. Ketiga, integrasi kegiatan hulu-hilir tambang di Indonesia berjalan relatif lambat. Sejak diamanatkan melalui UU No.4/2009 sampai saat ini relatif belum banyak perkembangan.
Keempat, konsistensi implementasi regulasi. Untuk larangan ekspor mineral mentah misalnya tidak dijalankan konsisten dengan adanya beberapa kali relaksasi.
Kelima, Australia relatif lebih dahulu masuk dalam industri pengolahan nikel termasuk yang disediakan khusus untuk memenuhi apa yang sedang diperlukan oleh Tesla. Oleh karena itu, ia mendorong agar pemerintah segera berbenah.
"Mencermati dan belajar dari negara lain yang telah lebih dahulu mengembangkan industri yang sama adalah salah satu langkah bijak yang dapat dilakukan," kata Komaidi.
Menurut dia keunggulan bahwa Indonesia memiliki cadangan nikel yang relatif besar jangan lantas membuat bangsa ini berpuas diri, dan merasa cukup bahwa pihak lain pasti memilih Indoensia. "Narasi positif dan optimisme saya kira bagus. Namun jika berlebihan dapat membuat kita tidak belajar dan melakukan perbaikan," katanya.
Kasus Tesla yang tidak memilih Indonesia sebagai tujuan investasi seharusnya menjadi pengingat dan pembelajaran yang baik untuk pemerintah introspeksi diri dan berbenah.
Seperti diketahui, perusahaan tambang nikel asal Australia yakni BHP beberapa hari lalu mengumumkan telah menandatangani kesepakatan perjanjian kerja sama dengan Tesla. Terutama untuk memasok nikel untuk memproduksi baterai kendaraan listrik.
Chief Commercial Officer BHP, Vandita Pant mengatakan permintaan nikel dalam baterai diproyeksi akan tumbuh lebih dari 500%. Adapun sebagian besar kebutuhannya untuk mendukung permintaan dunia akan hadirnya kendaraan listrik.
“Kami senang menandatangani perjanjian ini dengan Tesla, dan untuk berkolaborasi dengan mereka tentang cara membuat rantai pasokan baterai lebih berkelanjutan,” kata dia melalui keterangan resmi perusahaan, Kamis (22/7).