Liputan Khusus | SAFE Forum 2021

Pembahasan Pajak Karbon di DPR Jadi Awal Perubahan Pembiayaan Iklim

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3/2021). Kementerian ESDM hingga Maret 2021 telah membangun sebanyak 193 unit PLTS atap gedung, sementara sepanjang 2021-2030 pemerintah juga menargetkan pembangunan PLTS dengan kapasitas sebesar 5,432 Mega Watt untuk menurunkan emisi hingga 7,96 juta ton karbondioksida.
26/8/2021, 17.03 WIB

Pemerintah saat ini tengah memfinalisasi Peraturan Presiden (Perpres) mengenai penerapan nilai ekonomi karbon, sekaligus melakukan pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait konsep pajak karbon. Klausul pajak karbon dimasukkan dalam revisi Rancangan Undang-Undang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan (RUU KUP) yang pembahasannya tengah berlangsung.

“Jika akhirnya ini disepakati untuk dijalankan, Indonesia nantinya akan memulai era baru pembiayaan perubahan iklim dengan menggunakan instrumen nilai ekonomi karbon dan pajak karbon,” kata Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kementerian Keuangan, Dian Lestari dalam acara Katadata SAFE Forum 2021, Kamis (26/8).

Dimasukkan pajak karbon ke dalam RUU KUP merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam upaya nyata mengatasi dampak kerusakan lingkungan hidup dan perubahan iklim yang terus terjadi setiap tahunnya, termasuk kejadian bencana.

Dalam hitungan pemerintah, jika dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim tidak segera diatasi, potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim dapat mencapai kisaran 0,66% sampai dengan 3,40% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2030.

Melalui instrumen nilai ekonomi karbon dan pajak karbon, ia menyebut, peran pembiayaan pemerintah ke depannya akan mengalami pergeseran yang signifikan sekaligus mengubah paradigma konservasi dari belanja publik semata menuju pemanfaatan pembiayaan berbasis pasar.

“Keseluruhan mekanisme tersebut merupakan bentuk nyata dari upaya pemerintah dalam menciptakan Green budget dan ecological fiscal reform,” katanya.

Sebelumnya, staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin mengatakan, masih ada kendala dan tantangan dalam pengaturan implementasi perdagangan karbon tersebut, salah satunya pandemi Covid-19. Meski demikian kebijakan ini diperlukan demi meminimalisir distorsi ekonomi pasca pandemi virus corona. Oleh sebab itu, pemerintah mencari waktu yang tepat dalam menerapkan langkah pengaturan nilai karbon.

"Semua kebijakan perlu timing yang tepat, terutama Indonesia masih fokus pemulihan pandemi. Tapi kita tidak bisa melupakan tujuan jangka panjang," katanya.

Selain itu, tantangan lainnya ialah perlunya penentuan desain dan mekanisme perdagangan karbon dan pengenaan pajak karbon yang sinergis dan kompatibel dengan struktur ekonomi Indonesia. Hal ini untuk memastikan perdagangan karbon yang adil dan terjangkau.

Kendati banyak yang menilai positif, banyak pengusaha yang meminta pemerintah menimbang dengan hati-hati rencana untuk menarik pajak karbon di Indonesia. Alasannya, penarikan pajak yang menambah beban pengusaha akan berpengaruh pada daya saing pelaku usaha di dalam negeri.

Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) membuat jajak pendapat dan analisis mengenai rencana implementasi pajak karbon ini. President IBCSD Shinta W. Kamdani menyebutkan kebanyakan pelaku usaha keberatan dengan penerapan pajak karbon.

"Dari analisis yang kami buat, bila ini dijalankan apa pengaruhnya bagi daya saing dan kemampuan kompetisi sektor tersebut," ujar Shinta dalam diskusi Katadata SAFE 2021 dengan tema Collaboration for The Future Economy, Senin (23/8).

Reporter: Cahya Puteri Abdi Rabbi