Korporasi Tak Inginkan Sertifikat EBT Untuk Transisi Energi, Mengapa?

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Teknisi melakukan perawatan instalasi panel listrik tenaga surya di Hotel Wujil, Ungaran, Jawa Tengah.
10/9/2021, 13.38 WIB

Penggunaan sertifikat energi baru terbarukan (EBT) atau Renewable Energy Certificate (REC) yang diterbitkan PLN rupanya belum mampu menjawab kebutuhan sejumlah perusahaan yang telah berkomitmen untuk melakukan transisi energi dan menurunkan emisi karbon.

Bahkan sertifikat ini hanya menjadi opsi terakhir pilihan perusahaan, karena fokusnya adalah meningkatkan kapasitas listrik EBT untuk benar-benar beralih ke sumber energi yang bebas karbon.

Corporate Affairs Director, Multi Bintang Indonesia, Ika Noviera mengatakan ada batasan bagi perusahaan untuk menggunakan REC. Pasalnya tujuan utama bagi perusahaan adalah penggunaan energi terbarukan secara penuh.

"REC itu adalah opsi terakhir dan mungkin jumlahnya terbatas. Tujuan kami untuk transisi ke green energy, bukan hanya sekadar beli sertifikat," ujarnya dalam diskusi dan wawancara secara virtual, Jumat (10/9).

Co-Lead CEIA Indonesia, Gina Lisdiani mengatakan sertifikat EBT yang dimiliki PLN saat ini masih bergantung pada pembangkit EBT eksisting yang sudah lama beroperasi. Sementara perusahaan menginginkan agar sertifikat ini dapat mendongkrak pertumbuhan pembangkit EBT baru.

Untuk itu, perusahaan lebih tertarik untuk membeli sertifikat itu jika dihasilkan dari pembangkit EBT yang baru beroperasi. Sehingga dapat menjawab kebutuhan dari perusahaan yang saat ini fokus membantu pemerintah menambah porsi bauran EBT melalui pembangkit baru.

"Karena dampaknya ini yang ingin dilihat. Jadi REC itu cukup atau tidak, belum sepenuhnya mencukupi. Tetapi kalau REC dihasilkan dari pembangkit baru itu akan jauh lebih menarik," ujarnya. Simak target kapasitas listrik EBT Indonesia pada databoks berikut:

PLN sebelumnya mengatakan sudah ada beberapa perusahaan multinasional berminat untuk membeli sertifikat EBT. Beberapa korporasi itu meliputi PT Amerta Indah Otsuka sebesar 2.300 unit REC per bulan, Reckit Benkiser 800 unit per bulan untuk 2 ID pelanggan, PT Air Liquide 700 ribu unit REC selama 7 tahun, dan PT Vale Indonesia 2,8 juta unit REC selama masa kontrak.

Sebagai informasi, REC merupakan sertifikat EBT yang dikeluarkan oleh PLN sebagai bukti bahwa konsumen menggunakan listrik yang berasal dari energi hijau dan ramah lingkungan. Namun, total nilai bisnis baru PLN ini baru sekitar Rp 7,4 miliar.

"Total ada 69 ribu lebih konsumen listrik sudah mengkonsumsi REC dengan total REC terbit kurang lebih 211 ribu hingga Agustus 2021," kata Vice President Director PLN Hikmat Drajat dalam acara Sustainability Action for The Future Economy (SAFE) Forum 2021, Rabu (25/8).

REC tersebut dijual kepada dua jenis pelanggan, yaitu ritel dan enterprise basis. Pelanggan ritel ditujukan untuk pelanggan rumah yang ingin berkontribusi dalam layanan EBT.

Adapun, biaya REC yang dijual sebesar Rp 35.000 per MWH. Hikmat mengatakan langkah ini merupakan model investasi yang efektif meski belum merogoh kocek dalam untuk investasi EBT. "Jadi PLN membantu pelanggan tanpa harus investasi dalam pembangunan EBT, tapi diakui berkontribusi dalam carbon footprint," ujar dia.

Reporter: Verda Nano Setiawan