COP26: Negara Miskin Tagih Negara Maju Dana Perubahan Iklim Rp 1.400 T

ANTARA FOTO/REUTERS/Yves Herman/File Photo/FOC/dj
Penulis: Happy Fajrian
9/11/2021, 19.40 WIB

Negara-negara miskin memanfaatkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB COP26 untuk menagih dana perubahan iklim sebesar US$ 100 miliar yang dijanjikan negara kaya atas kerusakan lingkungan disebabkan oleh pemanasan global dan cuaca ekstrim imbas pembangunan.

Sejumlah negara berkembang dan miskin selama ini kesulitan mengakses dana tersebut meski telah dijanjikan sejak bertahun-tahun lalu. Dana ini dimaksudkan untuk membantu negara miskin/berkembang beralih dari bahan bakar fosil dan beradaptasi terhadap ancaman pemanasan global.

Dana ini juga menjadi semacam pembuktian bahwa negara miskin/berkembang paling tidak bertanggung jawab atas perubahan iklim yang terjadi.

"Kami terlalu lambat dalam memitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Jadi sekarang kami menghadapi kerusakan dan kerugian yang terus bertambah," kata penasihat Climate Action Network, Harjeet Singh yang mewakili negara miskin/berkembang, seperti dikutip Reuters, Selasa (9/11).

Dia menjelaskan bahwa negosiasi sejauh ini fokus pada upaya memasukkan kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan oleh negara-negara maju ke dalam perjanjian dana iklim ini. Namun upaya ini mendapat perlawanan keras dari Amerika Serikat, Uni Eropa dan negara maju lainnya yag khawatir tentang implikasi hukum dan potensi biaya yang ditimbulkan.

Kepala Kementerian dan Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Jerman, Juergen Zattler ketika ditanyakan apakah Uni Eropa harus mempertimbangkan dana kerugian dan kerusakan dipisahkan dari pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi, mengatakan bahwa pertanyaan itu masih terlalu dini.

“Saya kira diskusinya belum sampai pada tahap itu. Kita belum tahu sebenarnya kerugian dan kerusakan itu apa, dan apa bedanya dengan adaptasi, kami meraba dalam kegelapan soal ini,” ujarnya.

Sementara Kepala Kebijakan Iklim Uni Eropa Frans Timmermans mengatakan bahwa blok mereka mendukung upaya untuk membayarkan dana tersebut secepatnya, terutama di area yang paling membutuhkan, namun menegaskan bahwa mereka masih membutuhkan rincian yang tepat.

Negara-negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim telah mengangkat isu terkait siapa yang harus membayar kerusakan iklim yang terjadi sejak beberapa dekade lalu, jauh sebelum perubahan iklim dianggap sebagai ancaman seperti saat ini.

Para ekonom tengah memperkirakan biaya kerusakan dari cuaca ekstrim yang diduga terkait dengan perubahan iklim mereka menduga nilainya bisa mencapai US$ 400 miliar atau hampir Rp 5.700 triliun pada 2030.

Sebuah studi yang dilakukan oleh badan pembangunan Christian Aid memperkirakan kerusakan iklim dapat merugikan negara-negara paling rentan hingga seperlima dari produk domestik bruto (PDB) mereka pada 2050.

“Sudah menjadi perjuangan tanpa henti kami untuk memasukkan kerugian dan kerusakan ke dalam perjanjian iklim COP. Kami harus terus meminta pertanggungjawaban negara-negara penghasil emisi besar,” kata perwakilan dari Climate Vulnerable Forum, Kathy Jetnil-Kijiner, yang mewakili negara-negara yang terkena dampak pemanasan global.

Sementara Singh (Climate Action Network) mengatakan bahwa negara kaya bisa menghimpun dana tersebut, sebagian dengan mencabut subsidi dan menagih ganti rugi dari perusahaan bahan bakar fosil.

"Sebab tanpa bantuan dana tersebut, biaya kerusakan akibat perubahan iklim dapat membuat negara dengan ekonomi yang rapuh bangkrut, dan menghambat kemampuan mereka untuk berkontribusi dalam melawan perubahan iklim, seperti menutup pembangkit listrik batu bara," ujarnya