Perkembangan kondisi dalam negeri dan internasional mendorong industri kelapa sawit Indonesia mulai mempertimbangkan risiko transisi iklim. Berbeda dari risiko perubahan iklim secara fisik, ini adalah risiko bisnis akibat dari aksi pemerintah, konsumen, atau perusshaan swasta dalam menanggapi krisis iklim.
Saat konsumen, pemodal, perusahaan, dan pemerintah meningkatkan intensitas respon perubahan iklim, risiko transisi iklim akan cepat terwujud pada sektor dan negara penghasil emisi tinggi.
Dalam dua dekade terakhir, Indonesia telah kehilangan 17 persen tutupan pohonnya berdasarkan data Global Forest Watch. Angka ini setara dengan emisi karbon 19 gigaton CO2e.
Pendorong utama dari besarnya angka kehilangan tutupan pohon adalah deforestasi yang dimanfaatkan untuk budidaya komoditas. Hal ini membuat industri kelapa sawit menjadi salah satu yang rentan dalam upaya pengurangan emisi.
Industri kelapa sawit Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menunjukkan angka produksi lebih dari 52 juta ton pada tahun 2019, atau 58 persen dari pasokan global.
Upaya untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan yang menjadi fokus dari respon iklim belakangan, meningkatkan risiko transisi iklim bagi industri kelapa sawit Indonesia.
Empat Risiko Transisi Iklim
Task Force on Climate Related Financial Disclosures (TCFD), gugus tugas yang mencakup 32 anggota G20, mengelompokkan risiko transisi iklim dalam empat kategori; kebijakan dan peraturan, pasar, teknologi, dan reputasi.
Risiko kebijakan dan peraturan mencakup litigasi lingkungan sampai kebijakan pemerintah dalam membantu pencapaian komitmen iklim internasional. Kebijakan yang dimaksud mulai dari konservasi hutan sampai mekanisme penetapan harga karbon.
Contoh terbaru terjadi di Konferensi Tingkat Tinggi terkait Iklim (COP26) di Glasgow, 26 November 2021 lalu. Lebih dari 100 pemimpin dunia mengikrarkan janji mengakhiri deforestasi dan mengembalikan fungsi hutan pada 2030. Presiden Joko Widodo menjadi salah seorang pemimpin yang menandatangani perjanjian nol deforestasi tersebut.
Selain komitmen para pemimpin dunia, pemerintah dari 28 negara juga menyatakan keseriusannya untuk menghapus deforestasi dari perdagangan global makanan dan produk pertanian lain seperti minyak kelapa sawit, kedelai, dan kakao.
COP26 juga mempertegas Pasal 6 Perjanjian Paris terkait perdagangan karbon dan peningkatan momentum penetapan harga karbon internasional. Industri kelapa sawit Indonesia dihadapkan dengan risiko sekaligus peluang dari penetapan harga karbon ini.
Pajak karbon akan meningkatkan biaya operasi bagi produsen yang getol menghasilkan emisi namun tidak berinvestasi dalam teknologi pengurangan emisi. Di sisi lain, pasar kredit karbon akan menawarkan sumber pendapatan tambahan bagi perusahaan yang melestarikan hutan yang ada ataupun mereboisasi lahan yang terdegradasi.
Praktik penetapan harga karbon di Indonesia memang belum berjalan, namun terbitnya Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, menjadi lampu kuning untuk industri yang menghasilkan emisi.
Apalagi, berdasarkan riset Trove Research bersama dengan University College London (UCL), tengah tahun 2021 lalu, harga kredit karbon diperkirakan akan melonjak antara US$ 20-50 per metrik ton CO2e pada 2030. Kenaikan ini lebih tinggi dari kondisi di negara maju saat ini yang menerapkan harga rata-rata US$ 3-5 per metrik ton CO2e.
Kondisi harga karbon internasional menjadi relevan dalam pengambilan keputusan strategis produsen kelapa sawit, karena terdapat opportunity cost dari konversi lahan dan produksi. Dengan kondisi saat ini, harga US$ 15 per metrik ton CO2e, Orbitas memperkirakan konsesi kelapa sawit yang tidak ditanam dapat menghasilkan pendapatan tahunan hingga US$ 12,8 miliar untuk industri kelapa sawit Indonesia.
Risiko Pasar mengacu ke perubahan preferensi konsumen atau penurunan akses pasar sebagai akibat keterlibatan dalam deforestasi atau degradasi hutan.
Misalnya, jika perusahaan di sepanjang rantai pasok kelapa sawit mewajibkan adopsi kebijakan Nol Deforestasi, Nol Gambut, Nol Eksploitasi (No Deforestation, No Peat, No Exploitation/NDPE) ke sumber pemasok mereka, hanya produsen yang patuh yang dapat mengakses pasar tersebut.
Temuan Chain Reaction Research menyebutkan, per April 2020, 83 persen kapasitas pemrosesan minyak sawit Malaysia dan Indonesia memenuhi standar NDPE. Kondisi ini akan sangat membatasi akses pasar bagi produsen yang belum bisa mengikuti standar tersebut.
Contoh lain, pada November 2021, 10 perusahaan komoditas pertanian global terbesar, termasuk Cargill, JBS, Bunge, Marfrig, Golden Agri-Resources, dan Wilmar International, mengambil langkah lebih jauh dengan komitmen iklim bersama.
Selain itu, seluruh pasar berisiko ditutup bagi produsen kelapa sawit yang terlibat deforestasi karena undang-undang rantai pasokan akan memerangi deforestasi. Uni Eropa, Prancis, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat semuanya memberlakukan atau mempertimbangkan peraturan yang akan melarang impor komoditas yang terkait dengan deforestasi.
Selanjutnya, risiko teknologi muncul dalam terobosan inovasi yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif.
Prediksi Orbitas, biaya pembebasan lahan akan naik sampai 52 persen pada 2050, sehingga produsen kelapa sawit yang bergantung dengan ekspansi untuk meningkatkan produksi akan sangat rentan mengalami pembengkakan biaya. Alternatifnya lewat peningkatan produktivitas di lahan. Hal ini dapat membuat produsen tetap bersaing.
Orbitas merekomendasikan penggunaan teknik agroforestri yang sedang berkembang dan teknologi pengurangan emisi. Seperti penangkapan metana biogas untuk meningkatkan hasil, mendiversifikasi pendapatan, dan mengurangi biaya emisi di masa depan.
Terakhir, risiko reputasi yang mungkin timbul bagi citra perusahaan dan dapat mengakibatkan pembiayaan yang lebih sulit dan penurunan permintaan konsumen.
Beragam laporan dan pantauan dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menyangkut aktivitas industri sawit Indonesia menjadi salah satu faktor kerentanan risiko reputasi ini. Dalam kasus yang serius, pemegang saham atau penyedia modal melakukan divestasi atau melakukan pendekatan kasus dengan perusahaan yang reputasinya terganggu.
Pada November 2021, lebih dari 30 lembaga keuangan–dengan aset kelolaan senilai US$8,7 triliun–berkomitmen untuk mengakhiri investasi dalam kegiatan terkait deforestasi. Tindakan ini menjadi contoh peningkatan risiko divestasi bagi produsen yang terlibat dalam deforestasi.
Rekomendasi Orbitas
Orbitas merangkum beragam risiko transisi iklim laporan terbaru mereka yang bertajuk ‘Climate Transition Risk Analyst Brief, Indonesia Palm Oil’ yang diterbitkan pada pertengahan 2021 silam. Mereka fokus melakukan permodelan ekonomi dan keuangan terkait risiko transisi iklim bagi investor komoditas tropis.
Dalam risetnya, Orbitas menyoroti risiko dan peluang bagi industri kelapa sawit Indonesia dalam menghadapi transisi iklim. Lewat tiga skenario iklim yang dijabarkan dalam laporan, Orbitas mengungkapkan perusahaan yang merespons transisi iklim secara optimal memiliki potensi untuk tidak hanya mengurangi risiko, tetapi juga meningkatkan nilai perusahaan.
“Sudah terbukti bahwa sektor pertanian Indonesia harus merespons dampak perubahan iklim,” terang Managing Director of Orbitas Mark Kenber dalam wawancara dengan Katadata (6/1).
“Namun, kami sekarang melihat dampak risiko transisi iklim karena perusahaan mengadopsi kebijakan NDPE, negara-negara berkomitmen untuk memberantas deforestasi, dan penetapan harga karbon menjadi ancaman bagi biaya yang dikeluarkan,” tambahnya lagi.
Beberapa risiko yang disoroti Orbitas mulai dari aset terdampar, kelangkaan lahan perkebunan, sampai biaya emisi. Tidak tanggung-tanggung, analisis Orbitas memperkirakan akan ada 76 persen lahan konsesi yang belum ditanami dan 15 persen konsesi yang sudah ditanami berisiko menjadi aset terdampar (stranded assets).
Selain itu, antara 286-604 juta hektare (ha) lahan pertanian di dunia diperkirakan akan dikonversi menjadi hutan sebelum 2050. Hal ini akan menyebabkan harga lahan produksi bisa naik sampai lebih dari 50 persen.
Munculnya biaya emisi juga diperkirakan bisa mencapai 15 persen dari total biaya operasional kelapa sawit sebelum tahun 2040. Diperkirakan, besarnnya akan mencapai US$ 19 miliar.
Upaya Orbitas semata untuk membuka mata tentang dampak risiko transisi iklim yang segera terwujud saat perusahaan mengadopsi kebijakan NDPE, negara-negara berkomitmen untuk menghentikan deforestasi, dan momentum penetapan harga karbon.
Di sisi lain, terdapat peluang yang bisa dimanfaatkan dari transisi iklim. Laporan Orbitas menyebutkan potensi peningkatan nilai pasar mencapai US$ 9 atau sekitar Rp 130 triliun bagi industri sawit jika mengambil aksi yang tepat.
Selain itu, kenaikan harga komoditas juga bisa mencapai 10-40 persen. Kemudian produksi juga bisa naik hingga 50 persen lewat prinsip berkelanjutan, dan pemanfaatan fasilitas penangkap gas metana. Berbagai hal tersebut dapat menjadi sumber pemasukan baru.
Mark lantas menyebut munculnya risiko akan tergantung pada kemampuan menghasilkan panen, adaptasi pada perubahan, akses pada modal, dan efisiensi operasional.
Strategi optimal menghadapi transisis iklim dapat dilakukan melalui intensifikasi produksi lahan berkelanjutan, meningkatkan investasi untuk konservasi dan restorasi hutan, hingga pemanfaatan fasilitas penangkapan biogas dan biometana dalam produksi CPO.
Komitmen Berkelanjutan Perusahaan Sawit
Sejumlah perusahaan sawit telah melakukan adaptasi untuk memitigasi risiko transisi iklim dan meningkatkan akses ke pasar NDPE. Salah satu unit usaha Sinarmas, Golden Agri Resources telah melakukan beberapa langkah antisipasi, terhadap dampak transisi iklim.
Upaya adaptasi yang mereka lakukan di antaranya lewat pengembangan benih berkualitas tinggi untuk menghadapi persoalan penurunan produktivitas saat cuaca ekstrem.
“Tingkat produksinya mencapai 10 ton/ha atau dua kali lebih besar dari produksi kami saat ini atau dua kali dari rata-rata benih di Indonesia,” terang Managing Director, Sustainability and Strategic Stakeholder Engagement, Sinarmas Agribusiness & Food Agus Purnomo dalam acara Katadata, Sustainability Action for The Future Economy (SAFE) Forum 2021, Jumat (27/8).
Selain itu upaya rehabilitasi daerah sekitar sungai untuk mencegah kekeringan dan restorasi kawasan dalam konsesi untuk meminimalisir lahan terdampar juga telah dilakukan.
Lebih jauh mereka juga melakukan kerjasama dengan 70 ribu petani plasma untuk mengelola lahan yang setara dengan 21 persen kawasan tertanam milik perusahaan. Bentuk kerja sama dengan petani dipercaya dapat memberi dampak yang lebih baik bukan saja bagi kesejahteraan mereka tapi juga bagi dampak iklimnya.
Golden Agri Resources juga menjadi salah satu dari 10 perusahaan besar yang mengikrarkan komitmen melawan deforestasi November 2021 lalu. Mereka akan memprioritaskan aksi iklim dan mendukung Pemerintah Indonesia dalam mencapai penyerapan karbon dari pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan pada 2030.
Integrasi Temuan Orbitas dengan Stakeholder Sawit Nasional
Lewat serangkaian forum diskusi terbatas dengan dengan sejumlah perusahaan kelapa sawit dan institusi keuangan, Orbitas dan LPEM UI telah membagikan hasil temuan mereka dan peluang untuk pelibatan dalam penelitian lebih lanjut.
Perusahaan kelapa sawit dan institusi keuangan yang terlibat menyatakan minat yang signifikan dalam membangun ketahanan terhadap risiko transisi iklim dan berkolaborasi dengan Orbitas.
“Tidak dapat dimungkiri bahwa mitigasi perubahan iklim akan mempengaruhi sektor pertanian, karena dampaknya terhadap penggunaan lahan dan emisi yang dihasilkan langsung sepanjang rantai nilainya,” ujar Mark menyimpulkan.
“Jadi, penting bagi perusahaan, pemodal, pemerintah, dan LSM bekerja sama dalam rencana transisi yang adil untuk meningkatkan nilai perusahaan, sambil memerangi perubahan iklim,” pungkasnya.