Setelah PLTU, Pajak Karbon akan Sasar Sektor Transportasi Mulai 2025

123RF
Ilustrasi emisi karbon.
16/2/2022, 12.43 WIB

Pemerintah akan mengenakan pajak karbon untuk sektor transportasi, bangunan, dan sektor berbasis lahan pada 2025. Ini setelah pajak karbon dipastikan akan berlaku secara bertahap mulai April tahun ini pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Peneliti Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Joko Tri Haryanto mengatakan pemerintah telah merancang peta jalan mengenai pengenaan pajak karbon. Pajak ini sendiri akan dimulai pada 2022 secara bergiliran hingga 2024.

"Setelah 2024, 2025 akan dimulai pungutan atas pajak karbon untuk sektor yang lain, misalnya sektor transportasi, bangunan, sektor berbasis lahan," kata dia dalam Webinar Investasi Energi Baru dan Terbarukan dalam Pengembangan Biomassa di Indonesia, Rabu (16/2).

Meski demikian, dia membeberkan bahwa setiap sektor bebas untuk memilih instrumen pajak karbon. Misalnya, untuk sektor berbasis lahan yang lebih memilih pembayaran berbasis kinerja (result-based payment/RBP) dibandingkan instrumen perdagangan karbon.

Atau untuk sektor industri yang ingin lebih memilih instrumen pajak karbon. Maka pemerintah akan mempersilakan.

"Pada intinya ini yang akan dikerjakan oleh pemerintah. Ini yang akan jadi rezim baru dari penyelenggaraan nilai ekonomi karbon di Indonesia. Ini adalah era baru karena kita mencoba untuk meningkatkan kinerja pencapaian target emisi 2030," katanya.

Joko menegaskan pengenaan pajak karbon ini bukan semata mata terfokus pada upaya pemerintah mendulang pendapatan. Namun lebih dari itu, yakni agar pengembangan EBT di tanah air didorong lebih kokoh.

"Jangan lupa mekanismenya kan bisa insentif dan disinsentif kami yakin ini bisa menjadi pendorong berkembangnya EBT di Indonesia," ujarnya,

Seperti diketahui, pajak karbon akan berlaku secara bertahap mulai April sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly mengatakan penerapan pajak karbon diselaraskan dengan carbon trading. Ini merupakan bagian dari peta jalan ekonomi hijau.

"Hal ini untuk meminimalisasi dampaknya terhadap dunia usaha tetapi tetap mampu berperan dalam penurunan emisi karbon," kata Yasonna beberapa waktu lalu.

Ketentuan pajak karbon ini berlaku tarif lebih tinggi atau sama dengan harga di pasaran, tetapi ditetapkan juga tarif minimum sebesar Rp 30 per kg CO2 atau Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen. Pajak akan diberlakukan bagi PLTU yang menghasilkan emisi melebihi cap atau batas atas yang ditetapkan.

Berdasarkan bahan paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna, implementasi pajak karbon akan dimulai 1 April 2022 secara terbatas hanya ke sektor PLTU batu bara. Penerapannya nanti akan memakai skema cap and tax.

Peta jalan pajak karbon nantinya berlaku dua skema, yakni perdagangan karbon (cap and trade), dan pajak karbon (cap and tax). Pada skema perdagangan karbon, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap harus membeli sertifikat izin emisi SIE) dari entitas lain yang emisinya di bawah cap, atau membeli sertifikat penurunan emisi (SPE).

Namun jika entitas tersebut tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka berlaku skema cap and tax, yakni sisa emisi yang melebihi cap akan dikenakan pajak karbon.

Reporter: Verda Nano Setiawan