Penggunaan teknologi penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture, Utilizaton, and Storage (CCUS) di Indonesia dirasa masih sulit direalisasikan karena masih minimnya valuasi emisi karbon, dukungan dana publik, dan dorongan pasar.
Analis Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna mengatakan bahwa untuk mengembangkan teknologi ini di Indonesia nyaris tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat. Teknologi ini pun gagal berjalan di Amerika Serikat (AS).
Menurut Putra teknologi CCUS bisa berjalan ketika ditempatkan pada konteks operasional tertentu, misal pada negara dengan harga karbon tinggi dan regulasi yang ketat terhadap emisi. Selain Singapura, hampir tidak ada harga karbon yang signifikan di pasar Asia Tenggara.
“Sementara CCUS intinya memberlakukan 'pajak' untuk terus mengeluarkan emisi. Di Asia Ternggara, termasuk di Indonesia, proyek CCUS yang dikembangkan terfokus pada produksi gas, dan bukan pembangkit listrik,” ujarnya dalam diskusi Membedah Nilai Keekonomian Teknologi Penyimpanan Karbon untuk Sektor Energi pada Selasa (26/4).
Putra melanjutkan, biaya CCUS bervariasi mulai dari di bawah US$ 50 hingga lebih dari US$ 100 per ton karbondioksida (CO2) yang tertangkap. Selama ini ada klaim yang menyebut bahwa biaya CCUS untuk pembangkit listrik terus turun.
Padahal, klaim itu kebanyakan hanyalah berbasis studi, dan menimbulkan banyak pertanyaan menyusul penutupan proyek CCUS kelistrikan unggulan di Amerika Serikat (AS).
Pada 2021, AS menutup proyek CCUS Petra Nova di Texas dengan alasan keekonomian setelah hanya tiga tahun beroperasi. Proyek pemasangan CCUS senilai US$ 1 miliar tersebut telah mendapat US$ 190 juta bantuan dana pemerintah AS, namun tetap gagal beroperasi.
Biaya untuk penggunaan CCUS tersebut sangat besar mengingat penggunaannya ‘hanya’ untuk PLTU batu bara berkapasitas 240 megawatt (MW).
“Amerika telah mengucurkan setidaknya US$ 1,1 miliar dana publik untuk menopang bergagai rencana CCUS di kelistrikan dan industri, tetapi tidak ada satu pun dari delapan proyek kelistrikan yang didukung berjalan hari ini," kata Putra.
Dengan biaya yang tinggi, ujar Putra, proyeksi perkembangan CCUS akan berbeda dengan teknologi energi terbarukan lain yang dapat diproduksi dalam unit dan biaya yang lebih kecil.
"Mengembangkan dan memperbaiki secara bertahap turbin angin senilai US$ 3 hingga US$4 juta sangat mungkin akan lebih mudah dibandingkan proyek uji coba CCUS yang berbiaya ratusan juta dolar," ucapnya.
Putra menyarankan agar pemerintah berhati-hati menaksir biaya keseluruhan CCUS karena teknologi ini mengkonsumsi energi dalam jumlah signifikan. Penggunaan CCUS di pembangkit listrik akan dapat menurunkan kapasitas pembangkitan listrik, bahkan lebih dari 20-30%.
Selain itu, penggunaan CCUS dapat meningkatan biaya listrik 6-9 sen/kWh bahkan lebih. “Meski saat ini harga baterai penyimpanan energi masih berkompetisi ketat, namun proyeksi penurunan harga di energi terbarukan dan penyimpanan listrik tampak lebih menjanjikan dibandingkan CCUS,” sambung Putra.
Menurut Putra, dengan sumber pendanaan publik yang terbatas, pada akhirnya CCUS adalah perkara prioritas, mengingat tantangan mengenai biaya yang dihadapi.
"CCUS seharusnya tidak mengalihkan kita dari implementasi opsi lain yang lebih murah dan terbukti mengurangi emisi karbon, yaitu energi terbarukan dan integrasi jaringan listrik, yang harus tetap menjadi pusat perhatian menuju dekarbonisasi,” paparnya.
Koordinator Perlindungan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Bayu Nugroho, menyebut tekonoloig CCUS sudah dikaitkan dalam peta jalan Net Zero Emission (NZE) yang sedang disusun. “Tahap kajian mengenai beberapa aspek teknis dan keekonomian CCUS,” ujar Bayu.
Ia menambahkan pada rumusan peta jalan pada tahun 2030 sampai 2045, CCUS dan proyek hilirisasi dinilai menjadi penting, terutama Dimethyl Ether (DME) yang menjadi alternatif untuk dekarbonisasi di masa depan.
“Saya kira konteksnya memang penurunan emisi dan juga pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) ini agar harganya di kita itu bisa lebih terjangkau. Karena harganya masih mahal di masyarakat,” tukasnya