Untuk mencapai target net zero emission atau nol emisi karbon Indonesia disebut membutuhkan investasi senilai US$ 1,5 triliun hingga US$ 3,5 triliun atau lebih dari Rp 23,2-54,2 kuadriliun. Hal tersebut berdasarkan laporan BloombergNEF (BNEF) bertajuk “Net Zero Transition: Opportunities for Indonesia”.
Allen Tom Abraham, analis transportasi BNEF Asia-Pasifik, mengatakan untuk membiayai transisi energi, Indonesia membutuhkan investasi di bawah US$ 2 triliun atau sekitar Rp 31 kuadriliun dalam skema economic transition scenario (ETS), dan US$ 3,5 triliun atau sekitar Rp 54,2 kuadriliun di bawah skema net zero scenario (NZS).
Dia menambahkan bahwa sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia memiliki peluang signifikan untuk meningkatkan kapasitas produksi baterai lithium-ion.
“Untuk melakukannya, perlu meningkatkan kinerja lingkungan dari sektor pertambangannya serta meningkatkan permintaan baterai domestik dengan mempercepat elektrifikasi mobilitas,” kata Abraham melalui siaran pers, Sabtu (12/11).
Adapun laporan ini dirilis Sabtu (12/11), bertepatan dengan gelaran BloombergNEF Summit di Nusa Dua, Bali. Laporan ini mengkaji bagaimana pasokan energi Indonesia dapat berkembang di bawah Skenario Transisi Ekonomi (ETS) serta sesuai dengan Net Zero Scenario (NZS) yang sejalan dengan tujuan Perjanjian Paris.
Kedua skenario memperkirakan pertumbuhan permintaan listrik dapat dipenuhi dengan pengembangan energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), seiring dengan biaya investasinya yang terus menurun.
Berdasarkan ETS, permintaan listrik Indonesia akan meningkat tiga kali lipat pada 2050 menjadi 919 terawatt-hours (TWh) dibandingkan dengan 306 TWh pada 2021. Saat ini, pembangkit listrik tenaga batu bara memenuhi lebih dari 60% kebutuhan listrik Indonesia.
“Di bawah ETS, pangsa batubara naik ke puncak 74% pada 2027 dan kemudian turun menjadi 24% pada tahun 2050. Pada saat itu, pangsa gabungan energi terbarukan dalam pasokan listrik mencapai 74%,” tulis laporan tersebut.
Sedangkan berdasarkan NZS, permintaan listrik Indonesia akan tumbuh lima kali lipat pada 2050, dengan listrik menyumbang proporsi yang lebih besar dari permintaan energi akhir, misalnya dengan mengganti minyak sebagai bahan bakar transportasi jalan.
NZS memperkirakan bahwa 75% pasokan listrik pada pertengahan abad ini akan bersumber dari energi terbarukan, dengan sisanya dipasok oleh pembangkit listrik tenaga batu bara yang dilengkapi dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (17%) serta pasokan dari nuklir (7%).
“Di bawah NZS, karena permintaan ekspor batu bara Indonesia menurun lebih dari 60%, pembangkit listrik tenaga batu bara domestik yang dilengkapi dengan penangkapan dan penyimpanan karbon dapat menyediakan jalur transisi yang adil untuk industri batu bara,” kata analis energi bersih BNEF Asia Tenggara, Caroline Chua.
Di sisi lain, tambah Chua, Indonesia juga perlu mempertimbangkan langkah-langkah untuk mempercepat pertumbuhan energi terbarukan pada dekade ini.
Transisi global net-zero juga merupakan peluang ekspor baru bagi Indonesia, karena permintaan baterai lithium-ion untuk kendaraan listrik akan meningkat menjadi lebih dari 2 TWh per tahun pada 2026-2030.
Berkat kekayaan sumber daya nikelnya, Indonesia telah menyiapkan rencana untuk memproduksi baterai kendaraan listrik berkapasitas 25 total gigawatt-jam (GWh).