Pemerintah Indonesia tengah merundingkan pendanaan untuk kemitraan transisi energi yang yang adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diharapkan dapat diumumkan pada KTT G20 Bali pada 15 November.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa Indonesia telah berhasil menyelesaikan negosiasi dengan salah satu negara donor JETP, Amerika Serikat (AS).
"Tadi malam John Kerry (utusan khusus AS untuk perubahan iklim) menelpon saya. Kami telah mencapai kesepakatan yang akan diumumkan setelah pertemuan bilateral Presiden Joko Widodo dan Presiden Joe Biden pada 15 November," kata Luhut dalam dalam Bloomberg CEO Forum di Nusa Dua, Bali, pada Jumat (11/11).
Nilai kesepakatan tersebut dilaporkan bernilai US$ 15 miliar atau sekitar Rp 232,4 triliun. Menanggapi laporan tersebut Luhut mengatakan bahwa nilainya lebih besar dari itu. Namun ia menegaskan bahwa detail dari kesepakatan itu akan diumumkan oleh Presiden Jokowi dan Biden.
"Tidak hanya besaran dana yang akan mereka (Amerika) sediakan, tapi ini bisa menjadi model global, karena ini (JETP) dapat menolong negara berkembang. Jangan hanya melihat dari sisi negara maju tapi harus memperhatikan kepentingan negara berkembang. Menurut saya ini win-win solution," kata Luhut.
Luhut juga menjelaskan bahwa terkait JETP ini, apapun masukan dari kemitraan tersebut, Indonesia siap menerimanya. Meski demikian pemerintah menetapkan sejumlah persyaratan.
"Untuk kriterianya, saya ingin perjelas di sini, apapun yang disarankan kepada kami Indonesia, kami bisa saja menjawab ya, tapi ada syaratnya," ujar Luhut
Dia menjelaskan, ada empat syarat yang diajukan pemerintah Indonesia dalam proses negosiasi JETP untuk mendorong transisi energi di dalam negeri. "Pertama, jangan ganggu pertumbuhan ekonomi kami, kedua, teknologinya harus terjangkau, ketiga, harus timely, jika baru ada 10 tahun lagi, kami butuh itu sekarang," ujarnya.
Sedangkan syarat terakhir yaitu pinjaman yang diberikan melalui skema JETP harus dengan tingkat suku bunga yang berlaku di negara-negara maju. Sehingga Indonesia tidak dibebani biaya pinjaman yang terlalu besar. "Jika tidak, apa gunanya buat kami?" kata Luhut.
Pasalnya, lanjutnya, emisi karbon Indonesia saat ini sangat rendah yakni hanya 2,3 ton per kapita, jauh di bawah level negara-negara maju, seperti Amerika yang mencapai 14,7 ton per kapita. Oleh karena itu, menurutnya tidak adil jika Indonesia harus menanggung semua permasalahan iklim.
"Kami memahami pentingnya perubahan iklim dan dampaknya bagi generasi Indonesia berikutnya. Kami memiliki tanggung jawab kepada generasi penerus, sehingga kami harus menetapkan kebijakan untuk kepentingan masyarakat," ujarnya.