Pemerintah tengah menyusun rencana investasi terkait kebutuhan pendanaan untuk proyek transisi energi dalam waktu enam bulan ke depan setelah menyepakati komitmen pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP).
Dalam perumusan rencana investasi, pemerintah diminta untuk belajar dari Afrika Selatan agar pendanaan JETP lebih banyak bersumber dari hibah atau pinjaman lunak, daripada pinjaman komersial yang akan membebani keuangan negara. Pasalnya, JETP Afrika Selatan dilaporkan lebih didominasi utang daripada hibah.
Adapun Indonesia telah menyepakai pendanaan transisi energi sebesar US$ 20 miliar atau setara Rp 310 triliun yang disalurkan secara terpisah masing-masing US$ 10 miliar lewat negara donor dan US$ 10 miliar lewat lembaga keungan komersial atau perbankan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa mekanisme pendanaan iklim JETP bukanlah investasi dalam bentuk penamanam modal asing atau Foreign Direct Investment (FDI).
Melainkan pendanaan yang diperoleh dari penjualan Surat Berharga Negara atau SBN lewat PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebagai country platform yang mengelola kerangka pendanaan transisi energi.
"Belajar dari Afrika Selatan, dana hibah JETP cuma 4%, sisanya adalah pinjaman. Yang harus diperhatikan yakni dana dari sektor privat, ini skenarionya pembelian surat utang. PT SMI menerbitkan surat utang untuk dibeli oleh swasta dalam koridor JETP. Artinya siap-siap utang negara bertambah," ujarnya di Jakarta, Selasa (22/11).
Dalam dokumen pernyataan bersama, dana transisi energi JETP Indonesia yang dalam bentuk pinjaman komersial kemungkinan sebesar US$ 10 miliar yang akan bersumber dari tujuh institusi keuangan dunia yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) Working Group.
Termasuk di dalam GFANZ Working group yaitu sejumlah lembaga keuangan global seperti Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered, yang juga akan memanfaatkan keahlian, sumber daya, dan operasi bank pembangunan multilateral.
Bhima menjelaskan, langkah yang ditempuh oleh perbankan ini ditujukan untuk menghindari sentimen atau kesan negatif dari pendanaan pensiun dini PLTU yang berhubunan dengan sektor energi fosil.
"PT SMI kan di bawah Kementerian Keuangan. Mereka yang akan mencari cara pembiayaan, jadi bank-bank itu beli surat utang negara, sehingga tidak berkesan mendanai PLN," ujar Bhima.
Sebelumnya diberitakan, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menyebut pendanaan JETP dari perbankan bakal mengisi ruang lebih banyak untuk pengembangan pembangkit energi terbarukan daripada untuk pensiun dini PLTU.
Dadan menjelaskan, lembaga keuangan tak begitu tertarik membiayai proyek pensiun dini PLTU. "Yang saya pahami dari pensiun dini ini basisnya komersialnya harus tetap sama, tidak boleh rugi," kata Dadan saat ditemui di Gedung Nusantara I DPR pada Senin (21/11).
"Kalau komersial bunganya seperti ini menurut saya tidak ada, ketertarikannya gak ada kalau komersial. Pendanaan dari lembanga keuangan Komersial mungkin masuknya ke EBT-nya, di pengganti PLTU-nya," pungkas Dadan.