RI Diminta Belajar dari Afsel dalam Rumuskan Rencana Investasi JETP

ANTARA FOTO/Arnas Padda/nym.
Foto udara kincir angin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (27/5/2023).
31/7/2023, 19.08 WIB

Penasihat Kebijakan International Institute of Sustainable Development (IISD) Afrika Selatan, Richard Halsey, meminta Pemerintah Indonesia untuk melihat pengalaman pendanaan iklim Just Energy Transition Partnership (JETP) Afrika Selatan (Afsel) yang hanya 4% dalam bentuk hibah dan 97% dari pinjaman komersial.

Richard mendorong pemerintah Indonesia untuk menyusun dokumen rencana investasi atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) secara komprehensif agar mendapatkan porsi hibah yang lebih tinggi dari Afsel.

Lebih lanjut, Richard juga mendorong Indonesia untuk membuat dokumen CIPP yang transparan dan melibatkan publik. Hal itu ditujukan untuk menghindari adanya dampak sosial di Afsel karena dokumen CIPP yang minim konsultasi publik.

“Indonesia dan Afsel mungkin punya tantangan serupa, jika dokumennya sangat teknis dan ditulis dalam bahasa yang sulit, maka pekerja dan masyarakat belum tentu akan bisa memahaminya,” kata Richard saat menjadi pembicara dalam diskusi daring pada Senin (31/7).

Naskah CIPP yang tidak transparan dapat memicu dampak negatif bagi kelompok masyarakat rentan yang terkena imbas rencana pengembangan energi terbarukan di Afsel, terutama pada pengadaan pembangkit listrik dan jaringan transmisi di Provinsi Mpumalanga.

Mpumalanga merupakan wilayah kontributor terbesar dengan menyumbang 80% produksi batu bara Afsel. Transisi energi di Mpumalanga diproyeksikan bakal berdampak pada 90.000 orang yang bekerja di tambang batu bara dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di daerah tersebut.

Richard mencatat komitmen pendanaan iklim yang berhasil digenggam oleh Afsel sebesar US$ 8,5 miliar atau 8,6 % dari total kebutuhan transisi energi sebesar US$ 98,7 miliar untuk lima tahun ke depan.

“Penyusunan rencana investasi harus menyasar pada aspek yang adil (just), karena di sana ada yang akan terdampak seperti pegawai tambang batu bara,” ujar Richard.

Richard menceritakan, kendala transisi energi di Afsel mengacu pada minimnya infrastruktur jaringan transmisi listrik yang tidak seimbang dengan kapasitas menerima listrik dari pembangkit energi terbarukan.

Menurutnya, kondisi serupa juga terjadi pada Indonesia yang harus meningkatkan kualitas sistem transmisi listrik agar dapat beradaptasi dengan peningkatan listrik dari pembangkit energi terbarukan.

Di forum yang sama, Analis Kebijakan Energi International Institute of Sustainable Development (IISD), Anissa Suharsono, mengatakan bahwa dokumen CIPP harus menjadi ketetapan hukum tetap yang mengikat setelah diumumkan pada 16 Agustus mendatang.

Menurutnya, langkah tersebut efektif untuk menghindari adanya potensi perubahan rencana yang timbul dari intrik politik. “Harus diterjemahkan ke dalam bentuk undang-undang atau peraturan presiden, agar tidak berubah saat pimpinan negara berganti,” ujar Anissa.

Senada dengan Richard, Anissa menilai transformasi sistem transmisi listrik di Indonesia penting untuk memastikan keandalannya pasokan listrik dari sumber terbarukan.

Saat ini, hanya sistem Jawa–Bali yang merupakan satu-satunya jaringan listrik yang saling terhubung di Indonesia. “JETP bisa menjadi peluang untuk pendanaan ini,” kata Anissa.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu