Pemerintah telah menyepakati komitmen pendanaan transisi energi melalui Energy Transition Partnership (JETP). Nilainya mencapai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun. Namun dana ini dinilai tidak cukup untuk membiayai transisi energi Indonesia.
Peneliti Institute for Energy Economics and Financial Analysis, Putra Adhiguna menilai pendanaan JETP untuk mendorong transisi energi merupakan langkah yang belum benar-benar konkrit. Pasalnya, pendanaan tersebut juga masih tidak jelas dan dananya tidak cukup jika harus membiayai keseluruhan transisi energi.
Untuk itu, menurut Putra pemerintah seharusnya tidak hanya bergantung kepada pendanaan JETP 100%, tetapi juga memanfaatkan salah satu instrumen yang sudah ada di depan mata, yakni pendanaan dari program biodiesel atau pungutan dari pelaku usaha kelapa sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
"Sebetulnya bisa, dana BPDPKS dan dari Batu bara (BLU) itu yang belum terealisasi sampai sekarang, disisihkan sekian persen untuk biayai transisi energi, sebagai pijakan, tidak usah banyak-banyak bisa dimulai dari 2%,” ujarnya dalam diskusi "Mendorong RUPTL Hijau yang Ambisius Setelah Komitmen JETP”, Jakarta, Senin (21/8).
Namun demikian, Putra mengatakan adanya pendanaan JETP juga bisa dimaksimalkan oleh pemerintah dengan sebaik mungkin, karena saat ini sangat sulit mencari sumber dana baru untuk membiayai pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Upaya pensiun dini ini tentunya untuk mendorong Indonesia menjadi negara Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. "Jadi yang terpenting dana JETP ini bisa untuk danai pensiun dini PLTU, satu atau dua, syukur-syukur bisa dapat tiga PLTU,” kata dia.
Disisi lain, dia mengatakan pemerintah harus bisa membuat dan menjelaskan terkait skema pembiayaan pendanaan JETP kepada publik setelah dokumennya sudah diterima. Hal ini bertujuan agar tidak ada kerancuan dengan program transisi energi yang dijalankan oleh PLN.
Selain itu, menurut dia Indonesia harus cepat dalam mendorong transisi energi ini. Pasalnya, sampai sekarang progresnya masih terlalu lambat. Sehingga Indonesia dikalahkan oleh negara-negara ASEAN lainnya dalam urusan transisi energi.
Sebagai informasi, pinjaman komersial JETP ini nantinya akan disalurkan dan akan difasilitasi oleh aliansi perbankan swasta di bawah Glasgow Financial Alliance for Net Zero atau GFANZ yang beranggotakan Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered
Secara umum, pemerintah telah menyampaikan lima program prioritas untuk JETP, yakni pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, peningkatan kapasitas pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT), peningkatan efisiensi pemakaian listrik, penambahan rasio elektrifikasi dan pengadaan infrastruktur transmisi.
Adapun mekanisme penarikan dana JETP tidak mengacu pada pemberian keseluruhan US$ 20 miliar di muka, melainkan disalurkan secara bertahap mengikuti proposal proyek yang telah disiapkan.