Pendanaan Pensiun Dini PLTU Dinilai Tak Menarik Bagi Investor Asing

Traction Energy Asia
PLTU Jawa 7.
Penulis: Nadya Zahira
22/8/2023, 16.41 WIB

Lembaga survei The Centre For Strategic and International Studies (CSIS) dan Tenggara Strategics menilai, pendanaan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara kurang menarik minat investor luar.

Adapun program pensiun dini PLTU batu bara tersebut masuk dalam skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP). Indonesia telah menyepakati pendanaan JETP senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun yang salah satunya difokuskan untuk pensiun dini PLTU.

Direktur Eksekutif Tenggara Strategics, Riyadi Suparno mengatakan bahwa pendanaan pensiun dini PLTU batu bara terbilang cukup sulit karena dananya hanya bisa didapat melalui bank komersial lantaran belum masuk dalam taksonomi hijau.

"Pensiun dini batu bara itu permasalahannya adalah pendanaan," ujar Riyadi dalam media briefing, di Jakarta, Selasa (22/8). "Berdasarkan dokumen yang dihimpun oleh CSIS dan Tenggara Strategics, pensiun dini PLTU batu bara masuk kategori 'merah' dalam taksonomi pembiayaan perbankan."

Meskipun tujuannya untuk mempensiunkan dini PLTU dalam mendorong Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, investor luar atau global cenderung enggan memasukkan aset berbasis bahan bakar fosil ke dalam portofolio mereka. Hal tersebut lantaran bisa berdampak buruk bagi citra mereka.

Selain itu, dia menuturkan bahwa pemerintah Indonesia sebenarnya sudah berupaya meyakinkan negara-negara di Asia Tenggara agar mengubah taksonomi investasi untuk pensiun dini PLTU. Hal tersebut dilakukan pemerintah dalam ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance versi 2.0 yang diterbitkan pada Maret 2023 lalu.

Adapun pensiun dini PLTU diklasifikasikan sebagai aktivitas ekonomi 'hijau' atau 'kuning'. "Jadi sekarang di ASEAN untuk pensiun dini PLTU sebelum 2040 itu hijau. Sedangkan antara 2040-2050 masuk kuning. Jadi itu usaha Indonesia," ujarnya.

Pendanaan JETP Lebih Banyak Digunakan untuk Pengembangan Pembangkit EBT

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, menyebut pendanaan JETP dari perbankan bakal mengisi ruang lebih banyak untuk pengembangan pembangkit energi terbarukan daripada untuk pensiun dini PLTU.

Dadan menjelaskan, lembaga keuangan tak begitu tertarik membiayai proyek pensiun dini PLTU. "Yang saya pahami dari pensiun dini ini basisnya komersialnya harus tetap sama, tidak boleh rugi," kata Dadan saat ditemui di Gedung Nusantara I DPR pada Senin (21/11).

“Kalau komersial bunganya seperti ini menurut saya tidak ada, ketertarikannya gak ada kalau komersial. Pendanaan dari lembaga keuangan Komersial mungkin masuknya ke EBT-nya, di pengganti PLTU-nya," ujarnya.

Sementara itu, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai skema pembiayaan pensiun dini PLTU batu bara lewat mekanisme Energy Transition Mechanism (ETM) belum mampu menarik pendanaan dari perbankan maupun dari pemberi pinjaman komersial.

Pendanaan ETM sejauh ini masih bergantung pada sumber keuangan dari donor negara, hibah dan filantropi. Peneliti Keuangan IEEFA, Elrika Hamdi, mengatakan pihak lembaga keuangan komersial masih gamang untuk menyalurkan pinjaman pendanaan untuk proyek pensiun dini PLTU.

"Itu memang jadi dilema karena ketika perbankan ingin menyalurkan pendanaan pada penutupan dini PLTU, mereka akan menyentuh pendanaan kotor sedangkan bank kan tidak mau portofolio mereka dikotori oleh aset-aset ini," kata Elrika.

Reporter: Nadya Zahira