Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyampaikan bahwa besaran dana hibah atau grant yang dialokasikan dari komitmen kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) itu hanya sebesar US$ 130 juta atau setara dengan Rp 1,99 triliun.
Untuk diketahui, pemerintah telah menyepakati pendanaan transisi energi melalui kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP). Nilainya mencapai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun yang bisa digunakan dalam dua sampai tiga tahun ke depan.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan dana hibah Rp 1,99 triliun itu terlalu kecil sehingga tidak akan bisa mendukung transisi energi di Indonesia.
Menurut dia, untuk mematikan satu Pembangkit Tenaga Listrik Uap (PLTU) batu bara saja tidak akan cukup dengan dana hibah yang terlampau sedikit itu.
“Di Afrika Selatan saja, dana hibah itu sudah habis buat rapat-rapat untuk menyusun rencana, apalagi cuma duit dana hibah yang diterima Indonesia, cuma Rp 2 triliun,” ujar Bhima saat ditemui Katadata.co.id, Kamis (24/8).
Dia mengatakan, Afrika Selatan yang mendapatkan hibah 4% dari total JETP saja tidak terima dan memprotes hal tersebut. Sementara Indonesia hanya mendapatkan dana hibah 0,8% dari total JETP, namun tidak melakukan penolakan.
“Bayangkan, kita cuma dapat 0,8% dana hibahnya dari total JETP, tapi kita malah diam saja. Seharusnya Indonesia bisa menagih haknya itu,” ujarnya.
Disisi lain, dia mengatakan jika sisa pendanaan JETP berupa utang, harus dipastikan bahwa bunganya tidak boleh lebih mahal dari pada bunga komersialnya, “Kalau engga, buat apa ada skema JETP? Karena untuk mengakses itu bisa jadi kita hanya mengakses di pasar aja,” kata dia.
Bhima menilai, adanya program pendanaan JETP seharusnya tidak menambah utang baru untuk Indonesia, namun membantu untuk mendorong terciptanya transisi energi. Pasalnya dia menyebutkan, bunga utang tahun depan milik Indonesia sudah mencapai Rp 407 triliun di APBN.
“Jangan sampai menyalahkan transisi energi, karena bisa membawa dampak negatif pada beban utang negara. Padahal seharusnya transisi energi itu adalah keadilan kan,” ujar Bhima.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan pendanaan JETP nantinya akan lebih banyak diberikan dalam bentuk pinjaman komersial. termasuk pendanaan swasta yang diinisiasi Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) senilai US$10 miliar.
Adapun pendanaan dari swasta tersebut juga melibatkan Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered. “Kemudian ada yang pinjaman, tapi commercial loan yang bunganya lebih menarik," kata dia.
Seperti yang diketahui, pakta iklim yang tergabung ke dalam kemitraan JETP yakni, International Partners Group (IPG) sudah berkomitmen untuk menyediakan dana himpunan US$ 20 miliar dari publik dan swasta untuk pemerintah Indonesia.
Negara-negara yang tergabung dalam IPG di antaranya Amerika Serikat (AS), Jepang, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Norwegia, Italia, serta Inggris dan Irlandia. Kemitraan ini juga termasuk Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) Working Group.
Adapun skema pendanaan JETP tersebut yakni dengan total US$ 20 miliar. Rinciannya, US$ 10 miliar yang berasal dari komitmen pendanaan publik, dan US$ 10 miliar lainnya dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh GFANZ.
JETP pertama kali diluncurkan pada KTT Perubahan Iklim PBB ke-26 di Glasgow, Skotlandia pada 2021. Program ini merupakan inisiasi kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam IPG antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE).
Program pendanaan ini untuk membantu negara-negara berkembang meninggalkan energi batu bara sekaligus mendorong transisi ke penggunaan teknologi yang lebih rendah karbon.
Indonesia adalah salah satu negara yang berpotensi menerima pendanaan tersebut. Indonesia diperkirakan membutuhkan investasi transisi energi mencapai US$25-30 miliar atau sekitar Rp 393-471 triliun selama delapan tahun ke depan.